Ratusan Hektare Sawah Padi di Dairi Gagal Panen

Ilustrasi

Dairi, OKETIMES.com - Seluas 125 hektare padi sawah di daerah irigasi Huta Manik Desa Pegagan Julu VII dan VIII didera gagal panen. Lahan tani dimaksud meliputi Jampalan, Sukaraja, Huta manik dan Tanggiring.

Sebagian mulai tak kunjung muncul walau telah bunting 2 bulan. Kalaupun keluar, bulir kebanyakan hampa. Biji kosong. Tanaman pun kebanyakan tegak. Semua itu disebabkan ketidak tersediaan air irigasi. Proses metabolisme tanaman hanya mengandalkan tetesan hujan.

Demikian disampaikan Martahan Samosir gelar Oppu Agus (62) sembari menunjukkan lahan gersang, Kamis (26/2/2015).

Tanah di petakan tampak retak dan saluran air terbuat dari bangunan permanen terlihat kering. Kondisi vegetasi tersebut bervariasi antara memasuki pengisian bulir hingga pemasakan. Biji jamak tertengok berwarna hitam kecoklatan dan kisut sebagai tanda hampa.

Masyarakat sudah jatuh miskin, ujar Sahat Sitanggang disapa pak Beta (40). Kalaupun ada panenan, jumlahnya merosot tajam.

Dalam situasi normal, produksi gabah kering per rante (400 meter kuadrat) rata-rata 22 kaleng. Sekarang sudah hebat kalau bisa memetik 8 kaleng. Investasi tak sesuai harapan. Biaya olah tanah sampai pemeliharaan saja Rp400 ribu per rante sedang harga jual gabah Rp 50 ribu.

Mengapa bisa kering berkepanjangan? Mangasi Tua Sijabat menerangkan, irigasi di sana longsor sepanjang 20 meter medio nopember 2014. Kala itu, pertumbuhan tanaman memasuki fase anakan serta aplikasi pupuk pertama.

Longsoran itu diduga sebagai ekses pelebaran jalan oleh Dias Bina Marga Sumut. Saluran terletak di sebelah atas sarana transportasi. Pembangunan tersebut mengabaikan aspirasi masyarakat.

Petani sudah meminta agar pelebaran jalan jangan terlalu dekat ke saluran. Tapi, protes tak didengar hingga sejumlah pepohonan di sekitarnya ditumbang. Tak lama berselang, irigasi pun jebol.

Gotong Royong

Para petani, kata Sijabat, bergotong royong lantaran ukuran kerusakan masih kecil. Namun, upaya itu tidak bertahan lama. Longsor terulang lagi. Tidak ada upaya pemerintah daerah, apakah Badan Penanggulangan Bencana, Dinas Bina Marga dan Sumber Daya Air membantu isak tangis masyarakat. 

Orang-orang tertentu memang turun, tapi hanya untuk foto-foto dan mengukur. Sentuhan Camat juga dirasa minim. Mereka berharap adanya kepastian pemerintah. Kalau memang tak diperbaiki, warga akan beralih ke tanaman lain.

Seyogianya, musim tanam berikut dilakukan akhir bulan maret hingga awal april tetapi tak mungkin terealisasi lantaran masalah air tadi.

Jonson Simamora (55) mengutarakan, empati instansi teknis tak ada. Padahal, pemerintah pusat lagi gencar mengkampanyekan ketahanan pangan. Ini sungguh bertolak belakangan.

Ditambahkan, mayoritas lahan di sana merupakan sewaan. Dikontrak sebesar 5 kaleng per rante. Belum diketahui, apakah pemilik lahan memberi kelonggaran atau tetap pada kesepakatan.

Robin Lingga anggota DPRD fraksi Partai Gerindra berpendapat, pejabat di lembaga teknis tak peduli terhadap nasib petani. Sepertinya dibiarkan berlama-lama agar alokasi dana proyek lebih bengkak. Sudah hampir 4 bulan tak ada tanda-tanda penanganan.

Problema itu sudah pernah dibicarakan dengan Bupati KRA Johnny Sitohang Adinegoro. Top manajemen meresons ditalangi dari dana penanggulangan bencana. Namun, tindak lanjut SKPD tak juga ada.

Wakil Bupati Irwansyah Pasi mengatakan, rehabilitasi sesegera mungkin dilakukan. Pokoknya sesegera mungkin! BPBD sudah ditugaskan menghitung kebutuhan biaya. (edi)


Tags :berita
Komentar Via Facebook :