Sakit Jiwa dan Kosongnya Kolom Agama

Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo.

"Saat ini di KTP-nya bisa dikosongkan dulu," ungkap Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo, mencoba mengakomodasi warga negara yang agama dan kepercayaanya tidak tercantum di dalam undang-undang. "Berdasarkan undang-undang (UU) baru enam agama. Kalau mau tambah, harus mengosongkan, nggak ada masalah," imbuhnya lagi.

Tidak lama setelah pernyataan itu, sontak, ramai warga indonesia pun memberikan komen dan reaksi yang bermacam-macam. Apalagi para Muslim yang merasa cukup loyal terhadap nilai-nilai keislaman yang telah ada selama ratusan tahun di Indonesia.

Mari merenung sejenak! Umat Islam sepatutnya tidak usah merasa kaget dengan kebijakan kontroversial semacam ini. Masalah pengkosongan kolom agama di KTP, barulah satu dari kebijakan kontroversial lainnya yang akan datang lagi.

Mengapa umat Islam harus merasa takut dan shock akan kebijakan yang tidak islami ini? Bukankah ini hasil karya tangan mereka sendiri?

Dalam budaya Indonesia, orang akan dianggap positif jika ia dekat dengan masyarakat dan bergaul dengan orang-orang kalangan bawah. Indonesia adalah masyarakat yang komunal, di mana berelasi dengan banyak orang mengindikasikan bahwa ia adalah orang baik dan patut diapreasiasi.

Dengan mempertimbangkan aspek psikologis budaya tersebut, maka umat Islam Indonesia akan sangat mudah disentuh jika calon pemimpin mereka dicitrakan sebagai seseorang yang komunal dan menyentuh masyarakat marginal serta ekonomi lemah.

Tapi, di lain sisi, alam bawah sadar masyarakat Indonesia menyimpan nilai-nilai agama yang cukup sakral. Di Indonesia, banyak orang mengaku agamanya Islam, akan tetapi banyak pula dari mereka yang tidak pernah membicarakan dan bahkan mengetahui agamanya itu sendiri dengan baik dan benar.

Namun, jika ada saja seseorang yang menghina agamanya tersebut (Islam), dengan serta merta mereka akan membela mati-matian, walaupun ia tidak mengetahui dengan baik apa itu Islam. Jadi, agama dalam konteks budaya masyarakat Indonesia masih menyimpan sebuah peranan yang penting, diakui atau tidaknya secara publik.

Karena nilai-nilai agama, menjadi sebuah nilai yang esensial, di mana ia melekat pada psikologi masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, pernyataan tidak mempunyai agama adalah hal yang sangat tabu dan memberikan ancaman psikologis pada kebanyakan individu di Indonesia.

Eksistensi umat Islam juga merasa terancam. Karena hal ini akan memberikan ruang bagi siapa pun yang tidak beragama untuk tinggal di Indonesia.

Coba renungkan pertanyaan-pertanyaan kecil ini jika mereka pernah terlintas dalam pikiran kita dalam beberapa waktu ke belakang.

"Yang penting merakyat", "Yang penting bukan turunan pejabat", "Agamanya sih apapun lah, yang penting bersih", "Yang penting dekat dengan wong cilik". Tapi jarang orang Muslim yang mempertanyakan, "Bagaimana kualitas keberagamaannya?"

Hidup tanpa nilai tidak lagi menjadi masalah, yang penting desakan nafsu terpuaskan. Jika sekarang para pemimpin yang terpilih memberikan kebijakan-kebijakan yang merugikan hak-hak umat Islam, maka tidak perlulah umat Islam merasa panik dan berteriak-teriak hingga kerongkonganpun terasa kering. Karena ini adalah bagian dari proses kausalitas (ada sebab dan akibat).

Orang tidak lagi berpikir dengan hati nurani. Adanya degradasi standar idealisme di kalangan umat, membuat umat menyesal berkepanjangan dan hanya bisa mengelus dada. Pernyataan Tjahjo Kumolo ini adalah hasil dari apa yang kita pilih pada waktu memilih pemimpin.

Jika saat ini kita merasa tertekan dan takut, sepatutnya kita menyadari lebih dahulu apa yang dulu kita pilih. Mungkin sebagian dari kita beberapa bulan lalu ada yang berpikir, "Pilih aja pemimpin yang tidak melanggar HAM."

Lalu jika saat ini kaki tangan pemimpin tersebut mengeluarkan kebijakan yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam, bukankah pemimpin itu ini telah melanggar HAM kaum Muslimin? Bersabar sajalah wahai umat! Ketahuilah, bahwa hal ini adalah rentetan (domino effect) dari segenap perilaku kita pada saat memilih pemimpin.

Negara menjamin keberagamaan setiap warga negara, lalu jika seorang warga negara meninggal dan tidak disemayamkan menurut agama dan kepercayaannya (karena tidak terdata), lalu di manakah letak jaminan negara tersebut? Apa mungkin seluruh pegawai kementerian dalam negeri mampu menghafal agama setiap individu yang jumlahnya sampai ratusan juta?

Penurunan idealisme dan kepudaran iman dikarenakan rendahnya pengetahuan tentang keislaman merupakan sumber dari segala rasa ketakutan yang menghinggapi umat. Jika boleh meminjam istilah psikologi, adanya gejala anxiety disorder dikalangan umat Islam.

Sebuah istilah psikologi ketika seseorang merasa khawatir yang sangat berlebihan hingga akhirnya ia tidak dapat lagi menjalani kehidupan sehari-hari secara baik dan normal. Selalu dihantui rasa khawatir,yang mana ia berawal dari pikiran mereka sendiri yang tertuang dalam perilaku.

Yang penting perut saya kenyang, terganjal, dan persetan dengan idealisme keberagamaan, adalah pemikiran yang dapat menggerus nilai-nilai keislaman dalam generasi muslim Indonesia mendatang.

Pada saat bersamaan, anxiety disorder dikalangan umat (kepanikan yang menyebabkan jiwa tergunjang) harus segera diredam. Semoga umat segera melakukan konsultasi kejiwaan dan mendapat 'terapi' yang benar, baik secara kognisi (pikiran) dan mental.

Karena penyakit ini akan berdampak pada berbagai aspek kehidupan umat Islam lainnya. Jika tidak segera ditangani, maka lambat-laun sendi-sendi kehidupan umat akan luluh lantah tak berbentuk. Wallahu a'lam bimuradih. (ROL)


Tags :berita
Komentar Via Facebook :

Berita Terkait