Gubernur BI Serukan Reformasi Struktural

(sumber: Antara)

OKETIMES.COM- Reformasi struktural menjadi kunci keberhasilan Indonesia dalam proses transisi dari negara berpenghasilan menengah (middle income country) menjadi negara berpenghasilan tinggi (high income country).

Reformasi harus dilakukan dengan cepat karena Indonesia berada dalam pergerakan global. Jika tidak, proses transisi tidak berhasil dan Indonesia terjebak pada middle income trap.

"Kecepatan melakukan reformasi struktural sangat menentukan. Jangan bangga karena kita punya bahan baku, sebab yang utama adalah apakah kita ramah terhadap investasi atau tidak. Jadi kita harus fokus pada kebijakan reformasi struktural. Sangat disayangkan kalau kita kalah bersaing karena kita lambat berbenah," ujar Gubernur Bank Indonesia Agus D W Martowardojo saat membuka seminar nasional Laporan Perekonomian Indonesia 2013 di Hotel Mercure, Padang, Senin (9/6).

Dijelaskan Agus, untuk mempercepat reformasi struktural, ada tiga pilar utama yang harus dilakukan. Pertama adalah kemandirian ekonomi domestik terutama di bidang energi dan pangan. Kedua adalah peningkatan daya saing perekonomian. Ketiga, penguatan struktur pembiayaan pembangunan yang berkesinambungan. Hal ini dapat dilakukan dengan optimalisasi ruang fiskal dan pendalaman pasar keuangan.

Menurut Agus, transisi menjadi negara maju dibutuhkan untuk meningkatkan perekonomian masyarakat. Sebab, ada sekitar 28,5 juta masyarakat berada di bawah garis kemiskinan. Tingginya populasi miskin ini berpotensi mengalami ketimpangan dan rawan sosial.

"Karena itu kita harus segera bertransisi dan memperkecil ketimpangan. Sebab kunci terpnting untuk mengentaskan kemiskinan adalah mempercepat proses transisi ini. Sebab nilai tukar rupiah dan laju inflasi harus terus terjaga karena berperan dalam daya beli masyarakat," tegasnya.

Agus menyampaikan, selama ini proses transisi hanya ditopang murahnya tenaga buruh dan komoditi bahan mentah. "Kedua hal itu sudah usang. Jangan mengandalkan itu saja kerena tidak memenuhi kebutuhan kelas menengah yang konsumsinya kompleks," ujarnya.

Gubernur BI menjelaskan, pertumbuhan kelas menengah yang didominasi kelompok usia muda membuat konsumsi barang-barang sophisticated, seperti gadget dan mobil, yang hampir semuanya berasal dari impor meningkat.

"Kita harus meningkatkan kemampuan produksi di bidang teknologi. Berikan insentif pada sektor yang berorientasi pada ekspor dan substitusi impor," ujarnya.

Untuk menarik investor, menurut Agus, kontribusi daerah harus diperbesar. Selain itu, kepastian hukum dan kontrak harus dibenahi. Hal lain adalah layanan publik, pasokan energi yang memadai, transportasi antar moda yang terintegrasi dan hubungan bisnis dan kampus di bidang riset.

"Kalau semua itu sudah dilakukan, nanti jaringan pemasaran dan distribusi akan tercipta dengan sendirinya," katanya.

Sebelumnya, Direktur Eksekutif Kebijakan Ekonomi dan Moneter BI Juda Agung dalam media briefing menyampaikan, Indonesia menghadapi tiga ketidakseimbangan perekonomian yang harus segera diatasi. Pertama, ketidakseimbangan dari sisi eksternal yang ditunjukkan oleh transaksi berjalan yang defisit sejak 2011. Mengatasi hal ini, BI menggunakan instrumen suku bunga acuan dan nilai tukar rupiah untuk menekan impor. Sementara itu, pemerintah menggunakan instrumen kebijakan fiskal dengan menaikkan pajak penghasilan (PPh) impor dan mandatori penggunaan biodiesel untuk mengurangi konsumsi solar.

Dengan langkah itu, defisit transaksi berjalan yang sempat di posisi 4,4 persen secara bertahap menyempit hingga mencapai 1,98 persen pada kuartal IV-2013 dan 2,06 persen pada kuartal berikutnya.

"Namun, defisit neraca perdagangan kita melebar lagi pada April yang mencapai hampir US$ 2 miliar. Jadi, ini masih menjadi sebuah tantangan yang kita hadapi ke depan," kata Juda.

Masalah kedua adalah ketidakseimbangan fiskal yang ditandai oleh tidak tercapainya target penerimaan pajak, di tengah meningkatnya subsidi energi."Menteri Keuangan beberapa waktu lalu bilang kalau tidak ada langkah penghematan, maka kita bisa defisit 4,69 persen. Ini tertinggi sejak krisis 1998," kata Juda.

Persoalan ketiga adalah ketidakseimbangan di sektor riil yang ditunjukkan oleh defisit energi dan pangan yang dipicu turunnya produksi minyak di tengah meningkatnya konsumsi. Akibatnya, Indonesia bergantung pada impor. Sedangkan defisit pangan semakin memicu inflasi.

Juda menegaskan reformasi struktural mutlak diperkukan sebab, jika hanya bergantung pada kebijakan moneter, tidak akan cukup. Pengetatan moneter melalui penaikan suku bunga dan pelemahan nilai tukar rupiah hanya dapat menekan impor. "Tapi, apakah kita akan tekan impor terus? Tentu ini tidak baik dalam situasi ekonomi yang melambat," katanya.

Disampaikan Juda, BI memandang kebijakan di sektor riil menjadi kunci untuk mengatasi ketidakseimbangan. Pemerintah, harus mendorong industri Indonesia menjadi industri manufaktur yang berorientasi ekspor dan mensubstitusi impor.

Dari sisi fiskal, pemerintah harus mengurangi secara bertahap subsidi energi dan mengalihkan untuk belanja infrastruktur. Bank sentral memandang subsidi yang besar membuat Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) menjadi rentan ketika harga minyak naik dan nilai tukar rupiah melemah.

"Kita sudah tahu permasalahannya. Pemerintah sudah tahu, DPR dan masyarakat juga tahu, bahwa subsidi berlebihan tidak sehat. Tapi bagaimana mengeksekusinya, bagaimana secara gradual mengurangi ini yang diperlukan," ujar Juda.

Adapun mengenai ketidakseimbangan sektor riil, khususnya di bidang pangan, BI berpendapat penataan ulang lahan pangan harus serius dilakukan. Daerah yang menjadi lumbung pangan, seperti Karawang di Jawa Barat dan Sulawesi Selatan, harus dipelihara dan diintensifikasi.

"Kalau bicara reforma agraria mungkin agak susah, karena di negara-negara lain juga tidak mudah. Tapi menjaga lahan agar tidak terjadi konversi lahan bisa dilakukan. Menekan penggunaan lahan untuk perumahan dengan mngubah menjadi hunian vertikal kan bisa dilakukan," jelasnya.

Di bidang energi, diversifikasi energi baru terbarukan harus segera diimplementasikan. Konversi dari bahan bakar fosil ke bahan bakar nabati, seperti biodiesel dan bioetanol, harus terus dijalankan. "Semua ini memerlukan penguatan sumber daya manusia, peningkatan konektivitas, kualitas kelembagaaan dan produktivitas ekonomi, baik tenaga kerja maulun faktor produksi lain, seperti capital," ujar Juda.

Bila reformasi struktural tidak dilakukan, Juda menyatakan, perekonomian maksimal hanya tumbuh di kisaran 6 persen. "Karena kalau lebih, bisa overheating. Tapi kalau reformasi struktural dilakukan, maka pertumbuhan bisa sekitar 6,5 sampai 7 persen," terangnya.


Penulis: Y-9/WBP

Sumber:Suara Pembaruan


Tags :berita
Komentar Via Facebook :

Berita Terkait