Memaknai Warisan Nilai Juang Martha Christina Tiahahu

Patung Martha Christina Tiahahu di Pantai Nusa Laut, Maluku.

Jakarta, OKETIMES.com - Jakarta - Direktur Archipelago Solidarity Foundation (Arso) Dipl.-Oek. Engelina Pattiasina mengajak seluruh rakyat Indonesia agar tidak melupakan semangat juang dari Pahlawan Nasional perempuan pertama di Indonesia Martha Christina Tiahahu. Pasalnya, Martha dengan gigih memperjuangkan keadilan dan kemanusiaan pada zamannya.

"Martha Christina Tiahahu adalah seorang gadis remaja dari Nusa Laut, Maluku mengambil keputusan untuk melakukan perjuangan melawan kolonialisme, penindasan, ketidakadilan dan perbudakan," ujar Engelina dalam sarasehan "Memaknai Warisan Nilai Juang Martha Christina Tiahahu (4 Januari 1800 - 4 Januari 2015)", di Jakarta, Selasa (27/1/2015).

Sejumlah tokoh menghadiri pertemuan ini, di antaranya sejarawan dari Universitas Pattimura Dr Semmy Touwe serta tokoh masyarakat Maluku Raja Abubu Nusalaut.

Dari unsur pemerintah hadir Deputi Bidang Sosial dan Hukum Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Heru Karsidi dan Dr Wilian Sabandar dari REDD+.

Engelina menceritakan bahwa Martha C. Tiahahu lahir di Nusalaut, Maluku pada 4 Januari 1800 dari pasangan Kapitan Paulus Tiahahu dan Pieterzina Warlau. Martha wafat pada 2 Januari 1818 di atas Kapal Eversten dalam pelayan menuju Jawa dan jenazahnya diluncurkan di Laut Banda.

"Martha Christina Tiahahu wafat dalam usia remaja sekitar 17 tahun. Tetapi, Martha menorehkan sejarah besar sehingga sangat tepat negara menyematkan gelar pahlawan nasional sebagai sebuah penghargaan tertinggi di negara ini," tandasnya.

Martha, kata Engelina, mengorbankan jiwa dan raganya di usia 17 tahun melawan ketidakadilan kolonial di Tanah Maluku.

Dalam pertempuran itu, Martha Christina tertangkap. Tetapi, Martha melakukan protes terhadap penangkapannya dan memilih untuk tidak berkompromi. Martha Christina menolak untuk dijadikan budak di perkebunan kopi di Jawa.

"Tindakan melawan perbudakan ini dilakukan ketika Abraham Lincoln masih berusia delapan tahun," ungkapnya.

Martha Christina lanjut Engelina, melakukan mogok makan dan minum sampai meninggal di atas Kapal Eversten dalam pelayaran menuju Jawa dan jenazahnya diluncurkan di Laut Banda pada 2 Januari 1818.

"Peristiwa ini lepas dari catatan dunia, sehingga dunia lebih mengenal Marion Dunlop sebagai perempuan pertama yang melakukan mogok makan pada 1909. Padahal, Martha Christina melakukan hampir satu abad sebelumnya," kata Engelina.

Dia jelaskan, keterlibatan Martha dalam perang fisik itu terjadi justru ketika kaum perempuan masih tersisihkan akibat begitu kentalnya sistem patrilineal. Tetapi, Martha telah tampil untuk setara dengan kaum pria dalam melakukan perlawanan.

"Dari sedikit rekaman kisah Martha Christina, ada banyak keteladanan, nilai dan inspirasi yang tetap diperlukan dewasa ini. Menurut saya, apa yang diperjuangkan Martha pada masa lalu masih tetap ada sampai saat ini, tetapi muncul dengan wajah dan penampilan yang baru. Tetapi, semua itu tetap melawan ketidakadilan," tegasnya.

Martha Christina dan para generasi terdahulu telah bertindak sesuai masanya atau bahkan melampaui zamannya. Kini, ada tantangan tersendiri bagi semua pihak untuk mengisi dan meneruskan perjuangan para pendahulu.

"Di depan kita masing-masing, ada kemiskinan, ketertinggalan, kebodohan dan kesejahteraan yang harus dijawab untuk mewujudkan kehidupan yang lebih baik," katanya.

Untuk itu, pihaknya berharap, agar lembaga internasional dan nasional lebih peduli terhadap tempat kelahiran Martha Christina Tiahahu.

"Kami mengusulkan, agar Nusa Laut dan sekitarnya menjadi world heritage. Begitu juga dengan pulau lain yang sangat indah, seperti Manusela, Seram dan kepulauan di wilayah Tenggara. Misalnya, Pulau Larat. Kalau ini dapat direalisasikan sebagai warisan dunia, itu akan sangat bagus bagi seluruh Maluku," harapnya.

Sementara itu, Deputi Bidang Sosial dan Hukum Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Heru Karsidi mengungkapkan bahwa perjuangan Martha menjadi inspirasi perjuangan perempuan di Indonesia dan dunia untuk melawasn berbagai tindakan kekerasan terhadap perempuan, kemiskinan, pembodohan dan perdagangan manusia yang umumnya menjadi korban kaum perempuan.

Sejarawan Sem Touwe menilai esensi perjuangan Martha adalah mempertahankan nilai-nilai kemanusiaan yang pada gilirannya menjadi semangat nasionalisme di kalangan pejuang di Nusantara untuk melepaskan diri dari belenggu penjajahan Belanda.

"Semangat dan esensi perjuangan Martha harus dihidupkan lagi kepada generasi muda selaku generasi penerus bangsa untuk mempertahankan nilai-nilai kemanusiaan dan meningkatkan rasa nasionalisme," pungkasnya.


Penulis: Yustinus Paat/AF
Editor  :red
Sumber  :beritasatu.com

 (sumber: Ist)


Tags :berita
Komentar Via Facebook :