PERADES Desak Presiden Jokowi Cabut Izin HTI APRIL Group di Meranti
PERADES Desak Presiden Jokowi Cabut Izin HTI APRIL Group di Meranti
SELATPANJANG, oketimes.com– Pulau Padang yang memiliki luas kurang lebih 111.500 Ha (1.115 km persegi) termassuk dalam kategori pulau kecil. Berdasarkan Undang-undang nomor 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, sebagaimana yang telah di rubah dengan UU Nomor 1 Tahun 2014, pasal 1 ayat 3 yang dimaksud pulau kecil adalah pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2.000 km persegi. Sedangkan pemanfaatkan pulau-pulau kecil dalam undang-undang tersebut tidak diperuntukan untuk kegiatan pengusahaan hutan.
"Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 terbit jauh sebelum keluarnya SK 327/Menhut-II/2009 tentang perluasan HTI PT RAPP di Pulau Padang, dan SK perizinan HTI perusahaan group PT RAPP dibawah bendera APRIL lainnya di Kabupaten Kepulauan Meranti yang diteken oleh MS Kaban. Ini jelas sekali, izin HTI tersebut bertentangan dengan perundangan yang berlaku, selayaknya dibatalkan," ucap Guntur Musa, Ketua LSM PERADES di Selatpanjang, Minggu (11/1).
Lebih jauh, Guntur menjelaskan pada pasal 23 ayat 2, pemanfaatan Pulau-pulau Kecil dan perairan sekitarnya diperioritaskan untuk salah satu atau lebih kepentingan konservasi, pendidikan dan pelatihan, penelitian dan pengembangan, budidaya laut, pariwisata, usaha perikanan dan kelautan dan industri perikanan secara lestari, pertanian organic dan perternakan.
"Oleh karena itu, kami mendesak agar Bapak Presiden Jokowi, untuk segera membatalkan atau mencabut SK 327/Menhut-II/2009 tentang perluasan HTI PT RAPP di Pulau Padang, Kabupaten Kepulauan Meranti. Hal ini sudah kami sampaikan secara tertulis kepada Presiden, mudah-mudahan ini segera ditanggapi. Masyarakat Pulau Padang sudah cukup lelah untuk memperjuangkan hak-hak mereka. Kehadiran PT RAPP hanya mengundang terjadinya konflik dengan masyarakat," terang Guntur.
Dijelaskan juga, bahwa selain melanggar aturan pulau-pulau kecil tersebut, izin SK 327/Menhut-II/2009 dinilai dalam proses penyusunan AMDAL bertentangan dengan PP27/1999 pasal 16 Ayat 4 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup.
"Sebelum izin itu terbit, saat proses penyusunan AMDAL bertentangan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 1999. Intinya sesuai aturan, dua AMDAL itu kadaluarsa. Lantaran umur AMDAL yang dipakai untuk syarat izin lahan konsesi, maksimal tiga tahun. Bila AMDAL 2004 dipakai, sudah kadaluarsa dua tahun. Begitu juga AMDAL tahun 2006 sudah kadaluarsa beberapa bulan sebelum SK 327/Menhut-II/2009 terbit," beber Guntur.
Secara garis besarnya, Guntur berpendapat proses lahirnya SK. 327/Menhut-II/2009 bermasalah mulai dari tanggal perizinan, proses Kelengkapan Administrasi, Konfirmasi Kawasan, Penyusunan Amdal, dan Pelanggaran aturan hukum lainnya. Dari penyimpangan perizinan ini tidak hanya menimbulkan kerusakan alam, kerugian negara bahkan juga terganggunya psikologi masyarakat tempatan yang lahannya dirampas tanpa ganti rugi oleh perusahaan RAPP.
"Kita mau konflik di Pulau Padang agar segera diselesaikan, karena semakin lama persinggungan antara masyarakat dengan PT RAPP makin memuncak. Dalam minggu ini saja, ketegangan terjadi kembali, 20 eskavator diusir oleh masyarakat. Jangan sampai terjadi bentrokan fisik, yang akhirnya masyarakat yang menjadi korban. Jika tingkat daerah ini tidak bisa menyelesaikan permasalahan konflik ini, kita harap Presiden Jokowi turun langsung untuk menyelesaikan persoalan ini. Kami desak Presiden untuk batalkan izin RAPP, untuk menghindari terjadinya konflik dan kerugian bagi semua pihak," tutup Guntur. (JE/rec)
Komentar Via Facebook :