Desa Tanjung Darul Takzim yang Tak Tersentuh Pembangunan

Kondisi Pembangunan di Desa Tanjung Darul Takzim

"Desa Tanjung Darul Takzim bukanlah satu-satunya daerah terisolir di Riau. Masih banyak kisah dari daerah terisolir lainnya yang belum sempat kita dengar"

INFRASTRUKTUR dan keterisoliran menjadi masalah yang terus membelit Kabupaten Kepulauan Meranti, Provinsi Riau. Infrastruktur masyarakat umum, pendidikan bahkan kesehatan di daerah ini menjadi masalah pelik yang tak kunjung terpecahkan.

Salah satu daerah dengan infrastruktur terparah yakni Desa Tanjung Darul Takzim, Kecamatan Tebing Tinggi Barat. Tak ada bangunan sekolah permanen, tak ada Posyandu, Poskesdes, bahkan tak seorang pun tenaga medis yang bertugas di desa ini.

Kondisi inilah yang selama ini dirasakan oleh warga Darul Takzim. Jauh sebelum pemekaran Kepulauan Meranti dari Kabupaten Bengkalis, kondisi daerah ini memang minim infratsruktur. Desa mereka masih belum tersentuh oleh pembangunan infrastruktur, baik pemerintah daerah atau pun pemerintah pusat.

"Padahal setelah Meranti mekar dari Bengkalis dan menjadi kabupaten sendiri, harapan kita Darul Takzim tak lagi terisolir. Tapi setelah sekian tahun, pembangunan tak juga sampai ke desa kami," ungkap Basri Rasyid, Kepala Desa Tanjung Darul Takzim ketika oketimes menyambangi kantornya.

Diakui Basri, dalam dua kali Musrenbang pihak pemerintah desa Tanjung Darul Takzim telah mengajukan usulan untuk pembangunan infrastruktur di desanya, khususnya lagi infrastruktur jalan. Namun hingga saat ini tak ada tanda-tanda akan dibangun.

Perjalanan Oketimes ke Tanjung Darul Takzim pekan lalu, untuk sampai ke desa ini, dari Desa Lalang Tanjung kami harus menyeberang menggunakan sampan dayung sederhana. Sesampainya di seberang kami diwanti-wanti oleh pendayung sampan agar berhati-hati.

Dari pelabuhan, awalnya oketimes melintasi jalan tanah berdebu. Setelah berjalan sejauh dua kilometer, kami harus melintasi jalan dengan timbunan batu tertutup ilalang yang hanya bisa dilalui satu sepeda motor saja. Kondisi jalan sedikit membaik setelah kami sampai di pertigaan jalan kantor desa. Kami pun memulai perjalanan di jalan papan sekeping sepanjang empat kilometer ini.

Miris memang, inilah Jalan Harapan yang menjadi urat nadi warga desa Darul Takzim. Ditambah lagi jalan berupa sekeping papan sepanjang empat kilometer. Jika kendaraan roda dua berselisih di jalan ini, salah satunya harus mengalah.

Bertahun-tahun kondisi jalan seperti ini dilalui warga desa, warga pun menamakannya jalan ini jalan papan sekeping. Setiap harinya ada saja
kendaraan yang tergelincir di jalan ini, dan hari ini tampaknya wartawan oketimes yang tergelincir dan terjerembab di atas gambut "jalan papan sekeping".

"Beginilah kondisi satu-satunya akses jalan menuju Tanjung Darul Takzim. Sudah terlalu banyak keluhan dari warga Darul Takzim agar jalan ini dibangun. Tetapi untuk sementara ini warga kami tampaknya harus mengelus dada dan lebih banyak bersabar," keluh Kepala Desa Tanjung Darul Takzim Basri Rasyid di ruangannya.

Sebagai satu-satunya akses untuk menuju atau akan keluar dari Darul Takzim, kondisi jalan seperti ini tentuya menjadi kekhawatiran tersendiri bagi warga. Ketika hujan, jalan papan sekeping yang melapisi tanah gambut ini akan hancur dan sama sekali tak bisa dilalui. Jika menggunakan akses laut, warga harus mengeluarkan biaya Rp70 ribu hanya untuk sekali jalan.

Basri  mengakui dirinya sempat yerhibur mendengar kabar bahwa Tasik Nambus yang ada di daerah ini akan dijadikan objek wisata. Dengan begitu tentunya akan segera dibangun jalan yang bagus. Sayang, hingga detik ini wacana tersebut masih sebatas rencana. Entah kapan Tasik Nimbus ini akan dijadikan objek wisata.

"Tapi ada tidaknya tempat wisata di desa ini, kita harapkan jalan ini tetap dibangun, di jalan inilah kami menggantungkan mata pencarian kami," tutur Kades Darul Takzim lagi.

Tak Ada Pelayanan Medis

Masih di Desa Tanjung Darul Takzim, puluhan tahun di desa ini tak pernah ada Puskesmas, Puskesdes dan sejenisnya. Jangan berharap jika ada warga desa yang sakit bisa merasakan sentuhan tenaga medis di desa ini. Singkatnya, tak ada pelayanan medis di desa ini.

"Kalau memang betul-betul sakit parah dan darurat, kita larikan ke desa seberang, desa Lalang Tanjung. Di sana yang ada bidan terdekat dari Darul Takzim," kata Sam, salah seorang warga Desa Tanjung Darul Takzim yang dijumpai Oketimes.

Sedangkan untuk menuju Lalang Tanjung sendiri, warga harus melintasi jalan tanah dan jalan papan sekeping sepanjang tujuh kilometer. Ditambah lagi harus menyeberang mengunakan sampan dayung, tentunya membutuhkan waktu yang lama.

Lagi dituturkan Sam, dulu ada warga Darul Takzim yang menderita sakit batuk darah. Dia meninggal di perjalanan saat akan dibawa ke bidan di desa tetangga, desa Lalang Tanjung.

Kades Darul Takzim sendiri mengenai tidak adanya pelayanan kesehatan di desanya mengaku hanya bisa berharap pada pemerintah. "Memang sampai sekarang warga masih mendatangi bidan di Desa Lalang Tanjung yang jauh dan harus menyeberangi sungai," ungkap Basri.

Sejak desa ini berdiri, pernah ada dua kali penempatan tenaga bidan dari Dinas Kesehatan Kabupaten Kepulauan Meranti. Belum sempat keduanya bertugas melayani masyarakat, keduanya sudah mengajukan surat permohonan untuk pindah tugas ke daerah lain.

Oleh Basri, dirinya sangat memaklumi alasan mereka tidak betah bertugas di desa ini. Selain belum ada fasilitas bangunan kesehatan, jarak tempuh yang jauh dengan kondisi jalan yang belum mendapatkan pembangunan yang layak, juga menjadi kendala untuk mengabdi di desa ini.

Melalui program di tahun anggaran 2015 mendatang, pihaknya berharap kiranya Pemkab Kepulauan Meranti memberikan perhatian terhadap kebutuhan pelayanan medis masyarakat desanya. Selain penempatan tenaga medis seperti Bidan atau Perawat, desa ini juga sangat butuh pembangunan fasilitas kesehatan yang memadai.

Ikhlas

Pastinya saat ini tidak banyak guru yang mau mengajar di daerah terpencil. Banyak hal yang menjadi pertimbangan para guru yang enggan mengajar di daerah yang minim berbagai fasilitas. Jauh dari keluarga, tidak ada jaringan listrik, sulitnya berkomunikasi dengan dunia luar, jauh dari keramaian, hiburan serta berbagai pertimbangan lainnya.

Namun tidak dengan Rohana, persoalan mininya berbagai fasilitas tersebut tak menjadi hambatan. 15 tahun sudah Rohana mengajar di SD 5 Desa Tanjung Darul Takzim, desa terisolir yang jauh dari keramaian dan minimnya fasilitas yang biasanya memanjakan warga kota.

Di tahun 1999, SD 5 Desa Tanjung Darul Takzim bernama SD 92 Tanjung Katung, Kecamatan Tebing Tinggi. Daerah Tanjung saat itu masih jauh tertinggal dibandingkan Selatpanjang. Tak sejengkal pun jalannya beraspal, tidak ada transportasi umum menuju Selatpanjang. Bahkan warung pun tidak ada.

Bangunan sekolahnya masih berupa rumah panggung, berdinding kayu dan beratap rumbia. Ketika Rohana dan bersama 3 orang temannya mengajar di sekolah tersebut, hanya ada 3 ruang kelas. Mereka harus menyulap ruangan kelas tersebut menjadi 6 kelas dengan cara disekat beberapa keping papan sekedar pembatas antar kelas.

Saat itu ia harus mengajar anak-anak yang kemampuannya jauh berbeda dengan anak-anak di kota. Rohana kerap memberikan pengertian kepada orang tua dan murid tentang pentingnya pendidikan, agar minat orang tua mengantarkan anaknya ke bangku sekolah semakin besar. Pengertian itu juga harus ia tanamkan kepada murid-muridnya, bahwa pendidikan adalah salah satu penunjang utama untuk mewujudkan pembangunan.

"Segala sesuatu pekerjaan itu harus dikerjakan dengan ikhlas. Biarpun mudah, tapi kalau kita tidak ikhlas, pekerjaan itu menjadi berat. Berbeda jika kita ikhlas, sesulit  apapun pekerjaan itu, seberat apapun tantangannya, asal ikhlas, semua persoalan bukan lagi menjadi hambatan. Ikhlas adalah rahasia saya betah mengajar dan bisa bertahan di desa terpencil ini," tutur Rohana ketika ditanya rahasia ia bisa bertahan selama hampir 15 tahun menjadi guru di Tanjung Katung.

Sebagai seorang Guru dan PNS, Rohana harus memenuhi ikrar yang diucapkan ketika pertama diangkat sebagai CPNS, yaitu harus siap ditempatkan dimana saja. Meski pada awalnya ia sempat mengeluh, tinggal kampung, tanpa listrik pada malam harinya, namun ketika mengingat ikrar dan janjinya yang harus ia penuhi, ia belajar ikhlas menerima penempatan dirinya sebagai guru di desa terpencil itu.

"Awal-awalnya memang kita sedikit berat tinggal dan menetap di Tanjung Katung, tanpa listrik, jalannya kalau hujan becek, dan bila panas berdebu. Tidak ada tempat rekeasi atau hiburan. Mau jajan saja tidak ada warung sangat berbeda dengan Selatpanjang. Mau pulang ke Selatpanjang saya juga harus menumpang kapal pembawa ojol (karet) yang berangkatnya tidak tentu, bisa-bisa tengah malam. Tapi saya sadar, harus ikhlas dan saya harus memenuhi sumpah saya sebagai guru dan CPNS, yang siap ditempatkan dimana saja," ungkap Rohana, yang pada tahun 2009 Rohana diangkat menjadi Kepala Sekolah.

Dilantik menjadi Kepala Sekolah, membuat Rohana semakin mencintai SD 5 Desa Tanjung Darul Takzim. Meski pun saat ini dirinya etiap hari pulang pergi Selatpanjang dengan sepeda motor melintasi sungai. Tak jarang dirinya terjerembab ke tanah saat melintasi jalan "papan sekeping".

Diakui Rohana, banyak pihak yang menyarankan ia mengajukan pindah ke Selatpanjang daripada mengajar di desa terpencil. Namun ia enggan untuk pindah dari Tanjung Darul Takzim ini.

"Bisa saja saya ajukan pindah dan kemungkinan dikabulkan. Tapi saya berpikir kalau semua guru mengajar di kota, siapa nantinya yang akan mengajar anak-anak. Biarlah sementara saya di sini mengabdikan ilmu saya untuk anak-anak desa ini," pungkas Rohana.(af)


Tags :berita
Komentar Via Facebook :