Kuasai dan Alihkan Lahan Masyarakat Tanpa Persetujuan, PT. GIN dan Koperasi Rindang Benua Bungkam
Lahan milik masyarakat yang dialihkan dan dikuasai PT. GIN dan Koperasi Rindang Benua tanpa persetujuan.(Foto: Me)
INHIL - PT. Guntung Idaman Nusa (GIN) dan Koperasi Rindang Benua diduga kongkalingkong kuasai dan alihkan lahan masyarakat secara sepihak menjadi plasma koperasi. Proses pengalihan tersebut diduga dilakukan tanpa persetujuan pemilik lahan, tanpa kejelasan batas, serta tanpa dasar hukum yang transparan.
Ketua kelompok masyarakat, Ridwan, menyatakan bahwa lahan yang selama ini dikelola kelompoknya justru ditebang dan ditanami ulang atas nama plasma Koperasi Rindang Benua.
“Kebun saya sudah ditebang oleh PT. GIN dan ditanami ulang atas nama plasma Koperasi Rindang Benua. Padahal lahan itu milik kelompok kami. Tidak pernah ada persetujuan ataupun kejelasan batas,” tegas Ridwan kepada awak media, Senin (29/12/2025).
Tindakan tersebut memunculkan dugaan penguasaan lahan tanpa alas hak yang berpotensi melanggar Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria (UUPA) yang secara tegas melindungi hak masyarakat atas tanah dan melarang pengambilalihan lahan tanpa dasar hukum yang sah.
Ridwan mengungkapkan lagi, pihaknya juga telah berulang kali mengajak pengurus koperasi turun langsung untuk menunjukkan batas lahan masing-masing.
“Kami minta turun ke lapangan bersama, tunjukkan mana lahan koperasi dan mana lahan kami. Tapi mereka selalu mengelak dan tidak mau,” ungkapnya.
Kepala Dinas Koperasi Kabupaten Indragiri Hilir, Dr. Trio Beni yang dikonfirmasi menyampaikan, pihaknya telah dua kali memanggil pengurus koperasi tersebut sejak awal November lalu. Namun hingga kini belum semua data yang dibutuhkan diserahkan oleh pengurus.
“Kami sudah dua kali memanggil pengurus Koperasi Rindang Benua. Namun sampai sekarang mereka belum menyerahkan data lengkap anggota koperasi,” ujar Kadis Trio.
Kondisi tersebut membuat pihaknya kesulitan melakukan validasi.
"Kita berharap pengurus kooperatif agar kami bisa memberikan dukungan atas laporan pihak lain yang menganggap adanya penyerobotan lahan," tukasnya.
Jika seperti ini, koperasi tersebut terkesan tidak transparan dan hanya membuat situasi kurang baik.
Sikap menghindar tersebut semakin memperkuat dugaan bahwa penguasaan lahan dilakukan tanpa dasar hukum yang jelas, terlebih kebun masyarakat telah ditebang dan dialihkan menjadi plasma atas nama koperasi.
Penebangan di atas lahan yang masih disengketakan juga berpotensi dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum yang dapat digugat secara perdata.
Di sisi lain, keterlibatan PT GIN dalam proses penebangan dan penanaman ulang membuka ruang tanggung jawab hukum korporasi. Perusahaan wajib memastikan status lahan bebas sengketa sebelum menetapkannya sebagai plasma.
Apabila perusahaan tetap melakukan kegiatan usaha di atas lahan yang belum memiliki kejelasan hak, maka hal tersebut melanggar prinsip kehati-hatian dan tanggung jawab sosial perusahaan, serta membuka peluang gugatan hukum dari masyarakat.
Kasus ini memicu desakan agar pemerintah daerah dan instansi terkait tidak berhenti pada pemanggilan administratif semata.
Audit menyeluruh terhadap Koperasi Rindang Benua, termasuk keabsahan keanggotaan, RAT dan dasar penguasaan lahan, dinilai mendesak dilakukan.
Selain itu, mekanisme plasma PT GIN juga perlu ditinjau ulang agar tidak menjadi sarana perampasan hak masyarakat dan konflik agraria yang berulang.
Hingga berita ini diterbitkan, pengurus Koperasi Rindang Benua belum memberikan klarifikasi resmi. Sikap diam ini justru menambah pertanyaan publik tentang transparansi, akuntabilitas, dan dugaan praktik penyimpangan di balik pengelolaan plasma tersebut.(Me)

Komentar Via Facebook :