Siapkan Laporan dan Guguatan

INPEST Ungkap Dugaan Perkebunan Sawit Ilegal di Kawasan Hutan Indragiri Hilir

Foto Insert : Ketua Umum INPEST Ir. Marganda Simamora, SH, M.Si, dan lokasi kebun aktivitas perkebunan kelapa sawit ilegal di dalam kawasan hutan eks PT Sari Hijau Mutiara, Kecamatan Kemuning, Kabupaten Indragiri Hilir, Riau. Lokasi tersebut berbatasan langsung dengan Provinsi Jambi

PEKANBARU, Oketimes.com - Lembaga Independen Pembawa Suara Transparansi (INPEST) mengungkap dugaan aktivitas perkebunan kelapa sawit ilegal di dalam kawasan hutan eks PT Sari Hijau Mutiara, Kecamatan Kemuning, Kabupaten Indragiri Hilir, Riau. Lokasi tersebut berbatasan langsung dengan Provinsi Jambi.

Ketua Umum INPEST Ir. Marganda Simamora, SH, M.Si, dalam siaran pers yang diterima Rabu (25/11/2025), menyebutkan bahwa berdasarkan pengamatan lapangan, pihak pengembang telah membangun blok perkebunan, parit, jalan, serta perumahan karyawan di kawasan hutan tersebut tanpa izin dari Menteri Kehutanan.

Dari keterangan salah seorang pekerja, kata Marganda, perkebunan itu diketahui milik Swandi dan kini dikelola anaknya, Acai. Luas kebun mencapai 800 hektare, terdiri dari 400 hektare lahan produktif, 150 hektare tanaman baru, dan 250 hektare lahan pengembangan di area bekas kebakaran beberapa tahun lalu.

Produksi tandan buah segar (TBS) dari kebun tersebut diperkirakan mencapai 400 ton dalam satu putaran 15 hari atau sekitar 800 ton per bulan, dengan potensi pendapatan Rp2,4 miliar per bulan.

Marganda juga menyebutkan adanya penguasaan lahan sepadan seluas 500 hektare atas nama Ali Sati Firman, yang turut dikelola Acai. Produksi TBS dari lahan ini mencapai 500 ton setiap 15 hari atau hingga 1.000 ton per bulan, dengan estimasi pendapatan Rp3 miliar per bulan.

INPEST menilai aktivitas perkebunan tersebut diduga melanggar sejumlah regulasi, di antaranya UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, UU No. 39 Tahun 2009 tentang Perkebunan, UU No. 32 Tahun 2009 tentang Pelestarian dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, hingga potensi tindak pidana penggelapan pajak.

Marganda memaparkan, berdasarkan ketentuan sanksi administrasi dalam PP 45 Tahun 2025, pemilik kebun Swandi berpotensi dikenakan denda Rp25 juta per hektare atau total Rp200 miliar. Sementara Ali Sati Firman berpotensi didenda Rp125 miliar untuk 500 hektare lahan yang dikuasai.

Terkait temuan itu, INPEST bersama Yayasan Sahabat Alam Rimba (SALAMBA) berencana mendaftarkan gugatan legal standing ke Pengadilan Negeri Tembilahan. Gugatan mengacu pada UU Kehutanan dan UU Lingkungan Hidup, dengan tujuan mengembalikan fungsi kawasan hutan.

“Tujuannya agar pemilik kebun diperintahkan menumbang kelapa sawit dan menanam kembali tanaman kehutanan,” tegas Marganda.

Ia menambahkan, pihaknya berkomitmen mencegah kerugian negara serta menjaga kelestarian lingkungan dari aktivitas pengelolaan kawasan hutan tanpa izin.***


Komentar Via Facebook :

Berita Terkait