Ahli Pidana UNRI Jelaskan Dasar Hukum Penetapan Tersangka dalam Sidang Pra Peradilan Ketua LSM Petir
Sidang pra peradilan Ketua LSM Petir, Jekson Jumari Pandapotan, kembali digelar di Pengadilan Negeri (PN) Pekanbaru, Kamis (13/11/2025). Sidang dipimpin oleh Hakim Tunggal Aziz Muslim dengan agenda mendengarkan keterangan ahli yang dihadirkan oleh pihak pemohon atau tim kuasa hukum Jekson.
PEKANBARU, Oketimes.com - Sidang pra peradilan Ketua LSM Petir, Jekson Jumari Pandapotan, kembali digelar di Pengadilan Negeri (PN) Pekanbaru, Kamis (13/11/2025). Sidang dipimpin oleh Hakim Tunggal Aziz Muslim dengan agenda mendengarkan keterangan ahli yang dihadirkan oleh pihak pemohon atau tim kuasa hukum Jekson.
Pihak pemohon menghadirkan ahli pidana dari Universitas Riau (UNRI), Erdiansyah, S.H., M.H., dosen Fakultas Hukum UNRI. Dalam keterangannya, ahli memaparkan penjelasan mengenai interpretasi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) serta Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait dasar penetapan tersangka.
Menurut Erdiansyah, definisi tersangka diatur dalam Pasal 1 Angka 14 KUHAP, yaitu seseorang yang patut diduga sebagai pelaku tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup. Penetapan status tersangka, lanjutnya, harus didasarkan pada minimal dua alat bukti yang sah sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP dan Putusan MK Nomor 21/PUU-XII/2014.
“Bukti permulaan dan bukti yang sah harus diperoleh dari hasil penyidikan,” ujar Erdiansyah. Ia menegaskan bahwa penetapan tersangka seharusnya dilakukan di akhir proses penyidikan, bukan pada tahap penyelidikan, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 Angka 2 KUHAP.
Ahli menjelaskan bahwa penyidikan merupakan serangkaian tindakan untuk mengumpulkan bukti agar perkara menjadi terang dan dapat menetapkan seseorang sebagai tersangka. Bukti tersebut, katanya, dapat berupa kombinasi dari keterangan saksi, keterangan ahli, maupun surat, namun harus memenuhi syarat minimal dua alat bukti yang sah.
Erdiansyah menambahkan, penetapan tersangka tidak dapat dilakukan hanya berdasarkan satu alat bukti, seperti keterangan satu orang saksi pelapor. Hal ini sejalan dengan asas hukum "Unus Testis Nullus Testis" sebagaimana diatur dalam Pasal 185 KUHAP, yang berarti satu saksi bukanlah saksi.
“Maka, syarat undang-undang itu jelas: minimal dua alat bukti yang sah,” tegasnya.
Ia menutup keterangannya dengan menyatakan bahwa apabila penetapan tersangka dilakukan tanpa didukung bukti permulaan yang memadai, maka secara hukum penetapan tersebut dapat dipertanyakan keabsahannya.***

Komentar Via Facebook :