LSM Laporkan Dugaan Korupsi Tunjangan Perumahan DPRD Siak ke Kejagung

Kantor Kejagung RI di Jakarta
JAKARTA, Oketimes.com – Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Benang Merah Keadilan resmi melaporkan dugaan tindak pidana korupsi anggaran tunjangan perumahan anggota DPRD Kabupaten Siak tahun anggaran 2023–2024 ke Kejaksaan Agung (Kejagung) RI.
Kepala Bagian Analisis dan Pengendali Laporan LSM Benang Merah Keadilan, Chandra Ade Putra Simanjuntak SH, menyampaikan laporan tersebut ke Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) pada Rabu (1/10/2025).
Menurut Chandra, tunjangan perumahan DPRD Siak awalnya Rp10 juta per bulan per orang, namun naik menjadi Rp18,3 juta. Kenaikan ini dinilai tidak wajar karena tidak sesuai dengan standar harga sewa rumah yang berlaku di Kabupaten Siak dan diduga tidak melalui proses appraisal resmi.
Ia menjelaskan, kenaikan tersebut juga bertentangan dengan ketentuan Permendagri Nomor 7 Tahun 2006 yang telah diubah dengan Permendagri Nomor 11 Tahun 2007 mengenai standarisasi sarana dan prasarana kerja pemerintah daerah. LSM menemukan dasar kenaikan tunjangan tersebut tercantum dalam Peraturan Bupati (Perbup) Siak Nomor 4 Tahun 2023 yang merevisi aturan sebelumnya.
Dalam Perbup itu, tunjangan perumahan ditetapkan Rp18,365 juta per bulan, jauh lebih tinggi dibandingkan standar harga sewa rumah dalam Perbup Siak Nomor 13 Tahun 2023 yang hanya Rp1,58 juta per bulan, serta Perbup Nomor 75 Tahun 2024 yang menetapkan sewa rumah Rp2,2 juta per bulan.
Berdasarkan analisis LSM, anggaran tunjangan perumahan untuk 37 anggota DPRD Siak selama dua tahun mencapai Rp16,3 miliar. Dari jumlah tersebut, diduga timbul kerugian negara sebesar Rp7,42 miliar.
Chandra menegaskan dugaan perbuatan tersebut memenuhi unsur tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Ia juga meminta Kejagung memeriksa pihak-pihak terkait, termasuk Bupati, Ketua DPRD, Sekretaris Daerah, dan Sekretaris DPRD Kabupaten Siak.
Selain itu, Chandra menyoroti penggunaan hasil penilaian Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) Dumai sebagai dasar penetapan, yang menurutnya tidak sesuai dengan aturan. “Seharusnya menggunakan jasa Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP), bukan KPKNL. Hal ini menunjukkan adanya indikasi kesengajaan,” ujarnya.
Chandra menambahkan, meski menggunakan KJPP, jika penetapan tetap melanggar ketentuan Permendagri, maka harus diproses hukum. Ia mencontohkan kasus serupa di DPRD Kerinci, Jambi, dan DPRD Natuna, Kepri, yang berakhir dengan vonis penjara bagi para pelaku.
“Kasus ini akan terus kami kawal hingga tuntas,” tegas Chandra***
Komentar Via Facebook :