Tokoh Adat Kampar Kiri Adukan Penahanan Warga ke LAMR

Rombongan dipimpin Datuk Khalifah dan diterima Ketua Umum Majelis Kerapatan Adat (MKA) LAMR Datuk Seri H. Marjohan Yusuf bersama Ketua Umum Dewan Pimpinan Harian (DPH) LAMR Datuk Seri H. Taufik Ikram Jamil. Tokoh masyarakat Riau, Bunda Azlaini Agus, turut mendampingi para perwakilan adat.

Pekanbaru, Oketimes.com – Puluhan tokoh adat Luhak Ujung Bukit, Gema, Kecamatan Kampar Kiri, Kabupaten Kampar, Riau, mendatangi Balai Adat Lembaga Adat Melayu Riau (LAMR) pada Senin pagi (15/9/2025). Kedatangan mereka bertujuan menyampaikan keberatan atas penahanan tiga warga yang diduga merambah hutan lindung, meski lahan yang dikelola disebut sebagai tanah adat turun-temurun.

Rombongan dipimpin Datuk Khalifah dan diterima Ketua Umum Majelis Kerapatan Adat (MKA) LAMR Datuk Seri H. Marjohan Yusuf bersama Ketua Umum Dewan Pimpinan Harian (DPH) LAMR Datuk Seri H. Taufik Ikram Jamil. Tokoh masyarakat Riau, Bunda Azlaini Agus, turut mendampingi para perwakilan adat.

Azlaini menjelaskan, kebakaran yang terjadi pada 17 Juli 2025 di Tanjung Belit memicu penahanan tiga warga: M. Diah, Afrizal, dan Kidamri. Menurutnya, ketiganya mengelola lahan adat yang telah dimanfaatkan jauh sebelum Indonesia merdeka. “Awalnya dua orang ditangkap, lalu bertambah menjadi tiga. Sekarang mereka sudah ditangguhkan, tetapi kondisi psikologis M. Diah terganggu,” ujarnya.

Ia menambahkan, M. Diah yang tidak dapat membaca dan menulis menjalani pemeriksaan tanpa pendampingan pengacara. Azlaini juga menyoroti ketimpangan kebijakan karena di sekitar lahan tersebut terdapat sekitar 200 hektare kebun milik seorang pengusaha yang tidak dikategorikan sebagai hutan lindung.

Ketua Umum MKA LAMR Datuk Seri Marjohan Yusuf menegaskan dukungan kepada masyarakat adat. “Wilayah itu dikenal menjaga ekosistem, terbukti dengan keberadaan lubuk larangan dan festival Subayang Rimbang Baling,” katanya.

Sementara itu, Ketua Umum DPH LAMR Datuk Seri Taufik Ikram Jamil menyatakan akan berkomunikasi langsung dengan Kapolda Riau dan mengirim surat resmi terkait kasus tersebut. Ia menilai tumpang tindih antara hutan adat dan hutan lindung sering terjadi akibat minim sosialisasi dan batas wilayah yang tidak jelas.
“Kami berharap pemerintah lebih serius menetapkan batas kawasan adat dan negara agar masyarakat adat tidak lagi menjadi korban,” ujarnya.***


Komentar Via Facebook :

Berita Terkait