Yanni IRT di Pekanbaru Jalani Persidangan Dugaan Penggelapan Dana Usaha CV Multimedia Komputer
 
                Kuasa hukum Yanni dari Kantor Hukum Cahaya Keadilan, Sudirman, SH, MH, didampingi rekannya Gusdianto, SH, MH, saat berada di Pengadilan Negeri Pekanbaru. (Foto: Istimewa)
PEKANBARU, Oketimes.com — Seorang ibu rumah tangga bernama Yanni (45) tengah menjalani proses hukum di Pengadilan Negeri (PN) Pekanbaru terkait dugaan penggelapan dana usaha Toko Komputer CV Multimedia Komputer senilai Rp66,7 juta. Kasus ini dilaporkan oleh abang iparnya, Helman, sementara suaminya, Slamet, turut dihadirkan sebagai saksi dalam persidangan.
Kuasa hukum Yanni dari Kantor Hukum Cahaya Keadilan, Sudirman, SH, MH, didampingi rekannya Gusdianto, SH, MH, membantah tudingan bahwa kliennya menggelapkan uang hingga miliaran rupiah sebagaimana diberitakan sejumlah media.
“Klien kami didakwa dalam perkara Nomor 960/Pid.B/2025/PN Pbr atas dugaan penggelapan sebesar Rp66.703.000, bukan Rp2 miliar seperti yang diklaim pihak pelapor,” ujar Sudirman kepada wartawan, Jumat (31/10/2025) malam.
Menurutnya, tuduhan tersebut tidak berdasar dan justru merugikan nama baik Yanni. Selama hampir 20 tahun, Yanni disebut mengelola toko komputer milik suaminya tanpa menerima gaji dan menanggung seluruh biaya operasional usaha, termasuk pembayaran karyawan, listrik, serta pembelian stok barang.
Sudirman menjelaskan bahwa Slamet merupakan pemegang saham terbesar dengan porsi 60 persen sekaligus Pasero Pengurus, sedangkan Helman menjabat sebagai Pasero Komanditer. Namun, selama dua dekade terakhir, Helman disebut tidak pernah terlibat langsung dalam kegiatan usaha.
“Selama 20 tahun, Helman tidak ikut campur dalam urusan toko. Semua biaya operasional ditanggung Yanni. Ironisnya, kini ia justru dilaporkan dan suaminya sendiri menjadi saksi untuk memenjarakan istrinya,” ungkap Sudirman.
Kuasa hukum juga menjelaskan bahwa perkara ini bermula dari transfer dana dari mitra usaha ke rekening Yanni antara Oktober hingga Desember 2024 dengan total Rp66,7 juta. Dana tersebut, kata dia, digunakan untuk membayar kewajiban toko kepada mitra bisnis dan bukan untuk kepentingan pribadi.
“Dana itu tidak hilang, melainkan masih berada dalam arus keuangan usaha. Seharusnya perkara ini masuk ranah perdata, bukan pidana,” tegasnya.
Yanni disebut sempat diusir dari toko pada 20 Oktober 2024, namun masih terjadi transaksi ke rekeningnya hingga Desember 2024. Beberapa hari setelah transfer terakhir pada 23 Desember 2024, laporan polisi terhadap Yanni dibuat pada 27 Desember 2024.
Sudirman menambahkan bahwa pihaknya sempat membuka ruang mediasi di tingkat kepolisian maupun kejaksaan. Yanni, menurutnya, bersedia menyelesaikan perkara ini secara damai dan mengembalikan sisa dana yang belum terselesaikan, namun pihak pelapor menolak.
“Dari awal kami sudah membuka ruang mediasi, tapi pelapor menolak. Padahal klien kami ingin menyelesaikan secara baik-baik,” ujarnya.
Dalam proses persidangan, pihak kuasa hukum juga menghadirkan saksi ahli pidana dari Universitas Islam Riau (UIR), Dr. Zulkarnain S, SH, MH. Dalam kesaksiannya pada sidang pada Kamis 30 Oktober 2025, ahli tersebut menjelaskan bahwa dakwaan Pasal 372 KUHP tentang penggelapan memiliki keterkaitan dengan Pasal 367 KUHP mengenai pencurian dalam keluarga.
Dr. Zulkarnain memaparkan bahwa Pasal 367 KUHP memberikan pengecualian terhadap tindak pidana yang terjadi di dalam rumah tangga. Jika pelaku adalah suami atau istri dari korban dan keduanya belum bercerai atau belum memisahkan harta, maka pelaku tidak dapat dituntut secara pidana. “Artinya, pencurian dalam keluarga termasuk delik aduan, yang hanya dapat diproses jika ada pengaduan dari korban,” jelasnya.
Ia menambahkan, penggelapan dalam keluarga juga termasuk delik aduan, sebagaimana diatur dalam Pasal 376 KUHP yang merujuk pada ketentuan Pasal 367 KUHP. Jika korban mencabut pengaduan dalam waktu tiga bulan, maka proses hukum harus dihentikan.
Dalam pandangan ahli, unsur penggelapan meliputi tindakan yang dilakukan dengan sengaja, melawan hukum, menguasai barang milik orang lain, serta barang tersebut berada dalam kekuasaan pelaku bukan karena kejahatan sebelumnya.
Lebih lanjut, Dr. Zulkarnain menjelaskan bahwa apabila terdakwa masih memiliki hubungan suami-istri dengan korban tanpa perceraian maupun pemisahan harta, maka unsur “menguasai barang milik orang lain” tidak terpenuhi. “Dalam konteks ini, pasal yang tepat seharusnya adalah Pasal 376 KUHP, bukan Pasal 372 KUHP,” terangnya.
Ia juga menegaskan bahwa jika penggelapan dilakukan terhadap aset perusahaan, maka pasal yang tepat digunakan adalah Pasal 374 KUHP tentang penggelapan dalam jabatan, yang mensyaratkan adanya hubungan kerja atau jabatan antara pelaku dan perusahaan.
Dr. Zulkarnain menambahkan, apabila dakwaan yang diajukan tidak sesuai dengan unsur tindak pidana yang sebenarnya, maka surat dakwaan dapat dinyatakan batal demi hukum karena tidak memenuhi syarat materiil.
Menutup keterangannya, ahli juga menyinggung asas "in dubio pro reo", yakni prinsip hukum yang mengharuskan hakim mengambil keputusan yang paling menguntungkan bagi terdakwa apabila terdapat keraguan dalam pembuktian perkara.
Menanggapi keterangan tersebut, kuasa hukum Yanni menyatakan bahwa sidang masih bergulir di PN Pekanbaru dan sejumlah saksi yang dihadirkan justru memberikan keterangan yang meringankan.
“Perkara ini sudah di pengadilan, biarkan berjalan sesuai mekanisme hukum. Kami tetap profesional dan yakin kebenaran akan terungkap,” pungkas Sudirman.***


Komentar Via Facebook :