Insentif Pajak Rp837 Juta untuk Sekdaprov Riau, Ada Apa di Balik Temuan BPK?

Kepala Bapenda, Evarefita, SE, M.Si mendampingi PJ Gubri, Ir H SF Hariyanto, MT dalam rangkaian kegiatan Safari Ramadhan ke Kota Dumai, Jumat (22/3/2024). Foto Tangkapan FB: Bapenda Riau

PEKANBARU, Oketimes.com – Sebuah praktik janggal mencuat dari Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Republik Indonesia. Lembaga auditor negara itu menemukan adanya aliran insentif pungutan pajak daerah senilai Rp837.810.475 yang hanya diberikan kepada Sekretaris Daerah Provinsi (Sekdaprov) Riau, SF Haryanto, sepanjang 2024.

Padahal, aturan sudah tegas menyatakan, Aparatur Sipil Negara (ASN) yang menerima Tambahan Penghasilan Pegawai (TPP) tidak boleh lagi memperoleh insentif pungutan pajak daerah. Berdasarkan Peraturan Gubernur (Pergub) Riau Nomor 59 Tahun 2021, Sekdaprov Riau setiap bulannya berhak atas TPP sebesar Rp90.020.983. Angka itu terdiri dari tunjangan beban kerja Rp23 juta, prestasi kerja Rp23 juta, kondisi kerja Rp18 juta, dan kelangkaan profesi Rp25 juta.

Dengan penghasilan sebesar itu, mengapa masih ada insentif tambahan? Dan mengapa hanya Sekdaprov yang menerimanya, sementara pejabat lain tidak tercatat mendapat perlakuan sama?

Rincian Insentif Misterius

Berdasarkan dokumen BPK, aliran insentif itu terjadi secara bertahap.

* Triwulan IV 2023: Rp259,29 juta
* Triwulan I 2024: Rp259,94 juta
* Triwulan II 2024: Rp237,38 juta
* Triwulan III 2024: Rp254,30 juta

Total bruto mencapai Rp1,01 miliar. Setelah dipotong pajak, jumlah bersih yang diterima SF Haryanto sebesar Rp837,81 juta.

“Jika PNS sudah menerima TPP, maka tidak diperbolehkan lagi menerima insentif pungutan pajak daerah,” tegas BPK dalam laporannya.

Mengapa Hanya Sekdaprov?

Inilah pertanyaan paling krusial. LHP BPK menyebutkan bahwa pemberian insentif ini hanya menyasar satu orang: Sekdaprov Riau. Tidak ada nama lain dari jajaran pejabat di Pemerintah Provinsi Riau yang disebut menerima.

Apakah ini bentuk “privilege” jabatan tertinggi di birokrasi daerah? Atau ada alasan lain yang sengaja ditutup-tutupi?

Diamnya Bapenda

Sumber BPK menyebut, insentif itu diberikan oleh Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Riau. Namun, saat dimintai konfirmasi sejak 1 September 2025, Kepala Bapenda Eva Refita bungkam. Hingga berita ini dimuat, ia belum memberikan jawaban resmi.

Sikap diam ini justru mempertebal kecurigaan. Publik menduga ada mekanisme nonformal di balik pemberian insentif, yang memanfaatkan celah aturan untuk menguntungkan pejabat tertentu.

Potensi Sanksi Hukum

Jika pemberian insentif tersebut terbukti menyalahi aturan, konsekuensinya tidak main-main. Pertama, ada potensi kerugian keuangan daerah yang harus dikembalikan. Kedua, tindakan ini bisa masuk ranah pelanggaran hukum administrasi bahkan pidana korupsi, jika terbukti ada unsur memperkaya diri sendiri.

Kasus serupa pernah mencuat di beberapa daerah lain, di mana pemberian insentif di luar aturan digugat hingga berakhir di meja hukum. Apakah skandal di Riau akan mengikuti jejak yang sama?

Ujian Transparansi

Temuan BPK ini seolah membuka kotak pandora: bagaimana sesungguhnya tata kelola keuangan daerah dijalankan di balik meja birokrasi? Publik kini menunggu, apakah Pemerintah Provinsi Riau dan aparat penegak hukum berani mengambil langkah transparan, atau justru membiarkan kasus ini terkubur dalam senyap.

Satu hal jelas, dugaan pemberian insentif ilegal senilai hampir Rp1 miliar kepada seorang pejabat tinggi bukan perkara sepele. Di tengah sorotan publik terhadap praktik penyalahgunaan anggaran, kasus ini menjadi ujian besar bagi komitmen pemerintah daerah dalam menjaga integritas keuangan negara.***


Komentar Via Facebook :

Berita Terkait