Koperasi Air Kehidupan Bangun Pabrik Sawit di Lahan HPT, LSM Soroti Dugaan Pelanggaran

Koperasi Air Kehidupan (KAK), yang berada di bawah naungan Aek Natio Group, tengah membangun pabrik kelapa sawit (PKS) di Desa Petani, Kecamatan Bathin Solapan, Kabupaten Bengkalis.
Bengkalis, Oketimes.com – Koperasi Air Kehidupan (KAK), yang berada di bawah naungan Aek Natio Group, tengah membangun pabrik kelapa sawit (PKS) di Desa Petani, Kecamatan Bathin Solapan, Kabupaten Bengkalis. Lokasi pembangunan yang berada pada koordinat 1°16'24"N 101°01'17"E diketahui berstatus sebagai kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT), berdasarkan sejumlah keputusan Menteri Kehutanan.
Dalam rencana pembangunan yang mencakup area pabrik, perumahan, dan kantor perkebunan seluas sekitar 50 hektare, aktivitas di lapangan menunjukkan pembangunan telah dimulai. Sebuah jembatan sudah dibangun sebagai akses masuk, jalan mulai ditimbun, dan alat berat tampak membersihkan lahan.
Padahal, mengacu pada Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 173/Kpts-II/1986 dan SK 673/Menhut-II/2014 serta SK 878/Menhut-II/2014, wilayah tersebut masih dikategorikan sebagai kawasan hutan yang tidak boleh dialihfungsikan sembarangan.
Menanggapi pembangunan ini, Direktur Eksekutif LSM Benang Merah Keadilan, Idris, menyebut langkah KAK sebagai bentuk pengabaian terhadap hukum dan arahan pemerintah pusat. Ia menilai keberanian koperasi tersebut menunjukkan adanya kekuatan finansial dan jaringan kekuasaan. Bahkan disebutkan, salah satu anggota keluarga pemilik KAK diketahui menjabat sebagai staf ahli di Kementerian ATR/BPN.
“Ini bentuk nyata pengabaian terhadap perintah Presiden Prabowo dan Perpres Nomor 5 Tahun 2025 tentang Penertiban Kawasan Hutan,” tegas Idris kepada media Senin, 12 Mei 2025.
LSM Benang Merah sebelumnya telah melaporkan dugaan penguasaan lahan negara secara ilegal ini ke Satgas Garuda Penertiban Kawasan Hutan (PKH) pada 23 April lalu. Namun Idris mengkritik kinerja Satgas yang hanya menyita 200 hektare dari total lahan yang diduga dikuasai KAK, yang disebut mencapai lebih dari 7.000 hektare dan mencakup berbagai status hutan, termasuk hutan lindung.
“Satgas hanya berani mengambil 200 hektare. Ternyata Satgas Garuda PKH tak sekuat yang disampaikan Prabowo,” ujarnya.
Kasus ini menambah daftar panjang persoalan penguasaan lahan ilegal di wilayah Riau, sekaligus menjadi sorotan terhadap efektivitas penegakan hukum dan kebijakan reformasi agraria di era pemerintahan saat ini.
Perlu ada tindak lanjut dari lembaga berwenang untuk memastikan tidak terjadi pelanggaran hukum dan pengabaian terhadap kawasan hutan yang dilindungi negara.***
Komentar Via Facebook :