Penetapan Tersangka Helen Dinilai Cacat Hukum, PH Bakal Gugat Polda Riau dan Melapor ke Paminal
Pekanbaru, Oketimes.com - Terkait penetapan tersangka Helen, yang diduga melakukan manipulasi terkait pencairan deposito di BPR Fianka atas penyidikan yang dilakukan Subdit II Ditreskrimsus Polda Riau pada Jumat malam, 15 November 2024, Tim Kuasa Hukum Helen, angkat bicara dan menyebut perkara tersebut dinilai cacat hukum serta ada 'bisikan gelap' yang menyetir kasus tersebut mencuat ketengah publik.
"Kontek penahanan klien kami atas nama Helen, kami duga cacat hukum dan terkesan dipaksakan. Kenapa demikian, karena kasus menyangkut klien kami masih ada proses perdata antara pelapor dan terlapor yang saat ini sedang berjalan dan belum incrah serta belum ada putusan pengadilan, karena sedang berjalan," kata Kuasa Penasihat Hukum, Gita Melanika, SH., MH., Tommy Freddy Manungkalit, SH., MH., dan Alfius Zachawerus, SH., dalam keterangan persnya pada Sabtu, 23 November 2024 di Pekanbaru.
Karena itu lanjut Tim Kuasa Helen, meminta kepada pihak penyidik Subdit II Ditreskrimsus Polda Riau, memahami hubungan hukum tersebut, dengan baik. Dan mengutamakan terlebih dahulu kasus perdata tersebut tuntas, sehingga kasus pidanaya bisa dilanjutkan penyidik Polda Riau.
"Kami selaku tim kuasa hukum Helen, menegaskan jika kasus pidana tersebut tetap berlanjut, Maka kami akan melakukan prapid dan akan membuat laporan ke Paminal Mabes Polri," tegas
Tommy Freddy Manungkalit, meyakinkan.
Ia juga mengatakan kasus pidana yang saat ini dilakukan penyidik Subdit II Ditreskrimsus Polda Riau, dinilai cacat hukum dan terkesan dipaksakan oleh Polda Riau. Karena, adanya bisikan-bisikan dari pihak lain, yang tidak ada hubungannya dengan objek pelapor dan terlapor.
"Siapa pembisik-pembisik itu, kami sudah kantongi identitas dan nama-nama terduga tersebut serta tidak asing lagi nama tersebut muncul ditengah publik," ungkap Tommy.
Tommy juga mengatakan adanya kasus perdata yang dihadapi oleh kliennya dengan pelapor, hal itu sudah diketahui penyidik, namun penyidik Subdit II Ditreskrimsus Polda Riau, terus memaksakan kasus perdata yang sedang berjalan antara kliennya, malah masuk ke kasus Pidana.
"Semestinya penyidik Polda Riau memahami hal proses kukum perdata yang sedang berjalan itu, dan bukan malah mengacuhkannya. Jika kasus perdata ini dipaksakan jadi kasus pidana, apa kata dunia nanti dan bisa menjadi presiden buruk bagi proses penegakan hukum yang ada," tukas Tommy.
Tommy juga menyebutkan pelapor Anita (ipar Bihoi) ini adalah pelapor di Polda Riau, korban adalah Bihoi dan Halim. Sebenarnya klien itu, sudah mengakui kesalahannya dan bertanggung jawab atas kesalahannya serta membayar uang sebesar 6 juta perhari selama 1 tahun.
"Kesepakatan antara klien kami Helena, Bihoi dan Halim sudah ada perdamaian dan tertuang di notaris," jelas Tommy.
Sementara Gita Melanika SH MH selaku kuasa hukum Helen, menambahkan mengaku kecewa dengan beredarnya foto Helen sebagai tersangka diekspos ke sejumlah media massa dan media sosial. Seolah-olah Helen telah terhukum bersalah.
"Seharusnya penyidik mengedepankan azas praduga tidak bersalah (presumption of innocence-red). Jangan mengekspos foto tersangka tanpa adanya sensor atau blur sedikitpun," tegas Gita.
Pihaknya menduga penyidik sengaja menyebarkan foto penetapan tersangka itu ke media. Padahal seharusnya penyidik merahasiakannya.
Selain itu sebut Gita, penyidik terlalu terburu-buru menaikkan kasus pidana terhadap Helen ini, sementara masih ada sidang gugatan Perdata yang dilayangkan PT BPR Fianka terhadap Bie Hoi dan Halim Hilmy di pengadilan. Apalagi, gugatan ini dimenangkan oleh PT BPR Fianka dan saat ini proses banding di Pengadilan Tinggi (PT) Riau.
"Seharusnya penyidik menunggu hasil putusan Perkara Perdatanya dulu hingga memiliki kekuatan hukum tetap (inkrah), sebelum menindaklanjuti pemeriksaan laporan pidananya. Hal ini sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku," tegasnya.
Terakhir, Gita juga menjelaskan bahwa Helen bukanlah Bos di BPR Fianka, karena dia hanya memiliki saham minoritas yakni 1,23 persen. Sementara pemegang saham terbesar adalah Nurfatma selaku pemilik Bank.
Melihat kondisi yang terjadi hingga saat ini kata Gita, pihaknya meyakini penetapan tersangka yang dialami Helen ini benar-benar telah dipaksakan. Kondisi ini, sangat membuat terpukulnya Helen dan keluarga besarnya.
"Terlebih dengan beredarnya foto-foto Helen sebagai tersangka itu, sangat memukul pribadinya sebagai seorang wanita dan ibu. Seharusnya, semua pihak dapat mengedepankan azas praduga tidak bersalah lebih dahulu," tuturnya lagi.
Seperti diberitakan Direktorat Reskrimsus Polda Riau menangkap pemilik saham Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Fianka Pekanbaru, Helena (46). Helena ditangkap karena diduga mencairkan dana nasabah miliaran rupiah.
Helen ditangkap oleh Subdit II Perbankan Ditreskrimsus Polda Riau 15 November di kediamannya di Jalan Karya Agung, Kota Pekanbaru. Helena mencairkan dana dari nasabah dengan memanipulasi pencairan deposito.
Direktur Reskrimsus Polda Riau, Kombes Nasriadi menyebut Helena sebagai pemilik saham menginstruksikan jajaran direksi dan komisaris bank untuk mencairkan 22 lembar bilyet deposito. Pencairan dilakukan secara ilegal alias tidak sah pada Mei 2023 lalu.
"Kasus terungkap setelah kami menerima laporan korban yang dibuat pada Agustus 2024," kata Nasriadi, Selasa (18/11/2024).
Dari laporan itu, tim Subdit II yang dipimpin Kompol Teddy Ardian langsung melakukan penyelidikan. Hasilnya, ditemukan alat bukti kuat terkait keterlibatan Helena.
"Dari hasil penyelidikan kami menemukan bukti kuat keterlibatan Helen dalam tindak pidana tersebut. Atas dasar itulah, Helen ditetapkan sebagai tersangka dan sudah kami amankan," kata Nasriadi.
Kini Helen dijerat pasal berlapis, yakni Pasal 50A UU Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, Pasal 362 KUHPidana, serta Pasal 3 dan Pasal 5 UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
"Tersangka terancam hukuman berat karena tindakannya tak hanya merugikan bank, tetapi juga nasabah yang mempercayakan dananya di lembaga tersebut," kata Nasriadi.
Selain Helena, Nasriadi menyatakan bahwa pihaknya akan terus mendalami kasus ini. Termasuk pihak-pihak yang terlibat dalam kasus perbankan tersebut.
"Kami berkomitmen untuk mengusut tuntas kasus ini dan memberikan efek jera kepada pelaku tindak pidana perbankan," katanya.
Kasubdit II Perbankan Kompol Tedy Ardian mengungkap total nilai kerugian korban mencapai Rp 3,2 miliar.
"Sementara ini total nilai kerugian korban Rp 3,2 miliar. Masih kami dalami terus di kasus yang melibatkan HN ini," kata Tedy.*
Komentar Via Facebook :