Korupsi Peningkatan Jalan Lingkar Bukit Batu-Siak Kecil

KPK Banding Atas Vonis Ringan Bigbos PT ANN

Foto Insert ; Pengadilan Tipikor PN Pekanbaru dan Komisaris PT Arta Niaga Nusantara Handoko Setiono (kanan) dan Melia Boentaran (kiri) digiring petugas jelang rilis penahanan tersangka baru kasus korupsi peningkatan Jalan Lingkar Bukit Batu-Siak Kecil, Bengkalis TA 2013-2015 di Gedung KPK, Jakarta, Jumat (5/2/2021).

Pekanbaru, Oketimes.com - Vonis rendah terhadap dua terdakwa korupsi mega proyek Peningkatan Jalan Lingkar Bukit Batu-Siak Kecil, Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), nyatakan banding atas putusan rendah Majelis Hakim Tipikor Pengadilan Negeri Pekanbaru, Selasa (26/10/2021).

"Setelah kami pelajari beberapa pertimbangan majelis hakim, tim Jaksa KPK pada Senin (25/10/2021) telah menyatakan upaya hukum Banding ke Pengadilan Tinggi Pekanbaru," kata Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri SH MH dalam keterangan persnya yang diterima oketimes.com pada Selasa (26/10/2021) lewat gawai.

Dijelaskan Ali, adapun alasan banding KPK terkait vonis rendah hakim Tipikor Pekanbaru terhadap terdakwa yakni Handoko Setiono (HS) dan Melia Boentaran (MB) selaku bigbos PT Arta Niaga Nusantara (ANN), antara lain yakni putusan majelis hakim dinilai belum memenuhi rasa keadilan masyarakat dalam hal terbuktinya pasal dakwaan.

Kemudian lanjut Ali, penjatuhan amar pidana, baik pidana penjara maupun pidana tambahan berupa pembebanan uang pengganti.

"Kami berpendapat, Majelis Hakim dalam Pertimbangannya, telah mengabaikan fakta hukum yang terungkap di Persidangan, termasuk pengabaian atas perhitungan kerugian keuangan negara oleh tim auditor BPK RI," beber Ali.

Sedangkan untuk alasan lengkapnya lanjut Ali, KPK dalam waktu dekat ini akan menuangkan dalam memori banding tim jaksa.

"Kami akan segera menyusun memori bandingnya dan menyerahkan kepada Pengadilan Tinggi melalui Kepaniteraan PN Pekanbaru," ungkap Ali Fikri.

Selain itu sambung Ali, KPK berharap agar Pengadilan Tipikor Pekanbaru, dapat segera mengirimkan salinan putusan lengkap perkara dimaksud.

Sebagaimana diberitakan Majelis Hakim Tipikor Pekanbaru memvonis pasangan suami istri (Pasutri) bos PT ANN, hukuman berbeda bagi dua petinggi PT ANN terdakwa kasus korupsi proyek peningkatan Jalan Lingkar Bukit Batu-Siak Kecil, Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau.

Vonis tersebut dibacakan majelis hakim Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Pekanbaru yang diketuai Lilin Herlina pada Selasa (19/10/2021) di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Pekanbaru.

Yang menyatakan terdakwa Melia Boentaran terbukti bersalah melakukan tindak pidana penjara selama 4 tahun dan Handoko Setiono 2 tahun penjara.

Padahal rasuah dalam proyek dengan tahun anggaran 2103-2015 ini, telah merugikan negara Rp114 miliar. Mereka adalah petinggi PT Arta Niaga Nusantara (ANN). Keduanya yakni Handoko Setiono yang menjabat Komisaris, dan Melia Boentaran yang memegang jabatan Direktur.

Untuk Handoko Setiono, majelis hakim menjatuhkan hukuman 2 tahun penjara. Sedangkan Melia Boentaran, dijatuhi hukuman 4 tahun penjara.

Vonis ini jauh lebih ringan dari tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang meminta mereka dihukum 8 tahun penjara.

Karena terdakwa dinyatakan bersalah melanggar Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 1999 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.

Untuk terdakwa Handoko Setiono, dia juga didenda Rp100 juta dengan subsidair 3 bulan penjara. Dia tak dibebankan untuk membayar uang pengganti kerugian keuangan negara.

Sementara terdakwa Melia Boentaran, diwajibkan membayar uang pengganti kerugian keuangan negara sebesar Rp10,5 miliar, ditambarh denda Rp500 juta dengan subsidair 1 tahun.

Atas vonis ini, terdakwa melalui kuasa hukumnya Eva Nora, menyatakan pikir-pikir. Begitu pula JPU KPK.

Sebelumnya, JPU KPK dalam dakwaannya menyebutkan, kedua terdakwa memiliki tugas masing-masing. Terdakwa Melia menjabat sebagai Direktur PT ANN, sementara Handoko bertugas melobi pejabat untuk mendapatkan proyek.

Kedua terdakwa telah merugikan negara dengan total sebesar Rp114 miliar. Para terdakwa memperkaya diri sendiri sebesar Rp110,5 miliar.

Kemudian, memperkaya orang lain sebesar Rp13,5 miliar yang dibagikan kepada sejumlah pejabat di Dinas PUPR Bengkalis. Uang itu dibagikan, agar proyek senilai Rp265 miliar itu dapat dimenangkan oleh perusahaan terdakwa.

Adapun pejabat yang dibagikan itu, diantaranya, M. Nasir (Kadis PUPR Bengkalis) sebesar Rp850 juta, Syarifuddin alias H Katan (Ketua Pokja ULP) berrsama Adi Zulhemi dan Rozali sebesar Rp2.025 miliar.

Selanjutnya, Maliki Rp7,5 juta, Ribut Susanto Rp700 juta, Tarmizi Rp8 juta, Syafrizan Rp7 juta, Wandala Adi Putra Rp5 juta, Raffiq Suhanda Rp5 juta.

Kemudian Edi Sucipto Rp5 juta, Islam Iskandar Rp267 juta, Edi Kurniawan Rp5 juta, Yudianto Rp25 juta, Ardian Rp16 juta, Raja Deni Rp17,5 juta berikut sebuah sepeda motor KLX, Ridwan sebesar Rp 20 juta.

Selanjutnya, Ngawidi sebesar Rp15 juta, Ardiansyah Rp10 juta, Agus Syukri Rp10 juta, Lutfi Hendra Kurniawan Rp6 juta, Lukman Hakim Rp6 juta, Safari sebesar Rp6 juta dan Muhammad Rafi sebesar Rp 6 juta. Total merugikan keuangan negara sebesar Rp.114.594.000.180 sebagaimana hasil audit yang dilakukan tim Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Disebutkan, perusahaan terdakwa akhirnya memenangkan kontrak dengan total sebesar Rp291.515.703.285. Uang itu, bahkan telah dibayarkan dengan 100 persen.

Namun kenyataannya di lapangan, progres pekerjaan tidak sesuai dengan kontrak. Bahkan, perusahaan telah melampaui batas waktu pengerjaan.

Akibatnya, perusahaan harus membayar adendum, karena kelalaian pekerjaan yang tidak sesuai kontrak. Tidak tanggung-tanggung, pihak PUPR telah melakukan 8 kali adendum kepada perusahaan terdakwa.

Meskipun telah dilakukan addendum berupa penambahan waktu dan pengurangan volume pekerjaan, namun realisasi pekerjaan PT ANN atas proyek tersebut berdasarkan dimensi dan spesifikasi yang terpasang, ternyata tidak sesuai dengan yang dipersyaratkan dalam kontrak.

Sehingga volume pekerjaan yang terpasang tidak sesuai dengan prestasi pembayaran, atau erdapat selisih yang merupakan kerugian keuangan negara sebesar Rp.114.594 miliar.***


Komentar Via Facebook :

Berita Terkait