Pegiat Lingkungan Bengkalis Sampaikan Surat Terbuka ke Ketua BEM UI

Solihin tepian Pantai Raja Kecik, Pulau Bengkalis, Riau.

Pekanbau, Oketimes.com - Kritikan Suara Mahasiswa yang disampaikan BEM UI melalui media online pada 20 Oktober 2021 lalu, menggelitik Solihin (50), seorang aktifis dan pegiat lingkungan di Pulau Bengkalis, Provinsi Riau.

Lelaki yang tidak menamatkan pendidikan di Sekolah Dasar (SD) itu, memiliki bekal pengalaman dan pengetahuan lapangan selama puluhan tahun ini memberikan tanggapan melalui Surat Terbuka. Utamanya adalah tanggapan mengenai tuntutan BEM UI kepada Presiden untuk mencopot Menteri LHK RI saat ini, yaitu Siti Nurbaya.

Lewat surat terbuka ini, Solihin mengajak BEM UI untuk melihat langsung perjuangan masyarakat Pesisir Pulau Bengkalis dan LSM binaannya yang didukung penuh oleh Menteri LHK saat ini dalam melakukan upaya perbaikan lingkungan dari ancaman abrasi dan karhutla.

"Mari kita melihat fakta, sebelum bersuara, apalagi membuat pernyataan yang belum teruji kebenarannya hingga viral di media" ucap Solihin.

Berikut isi surat terbuka yang disampaikan oleh Solihin kepada Ketua BEM UI:

Surat Terbuka Rakyat Tidak Tamat SD Untuk Ketua BEM UI

Surat terbuka ini saya sampaikan menanggapi kritik Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI) sebagaimana dipublikasikan di berbagai media. Nama saya Solihin, dan anak seorang nelayan yang hanya mengecap pendidikan sampai dengan kelas III Sekolah Dasar (SD). Saat ini tinggal di Bengkalis, atau pulau terdepan terluar Indonesia yang berbatasan dengan Malaysia.

Tergerak hati nurani saya untuk menulis surat ini, setelah membaca berita mengatasnamakan Ketua BEM UI pada Presiden Jokowi, yang salah satunya meminta mencopot Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan yaitu Ibu Siti Nurbaya.

Perlu diketahui bahwa kampung kami, yang jauh di pelosok dan mungkin tidak terbaca di peta Indonesia, baru saja didatangi Bapak Presiden Jokowi dan Ibu Menteri Siti Nurbaya, beberapa minggu lalu. Apakah ketua BEM UI tau letak kampung kami? apakah adik-adik BEM UI tau apa masalah lingkungan hidup di kampung kami? Mari saya ceritakan sekilas.

Kampung kami adalah desa yang berada di Pulau terdepan Indonesia. Dari kampung kami, bisa melihat bukit dan gunung-gunung negara tetangga, Malaysia. Pulau kami adalah pusat pemerintahan tertua di Provinsi Riau, Provinsi yang katanya kaya raya penyumbang devisa terbesar negara Indonesia. Tapi di sini kerusakan lingkungan hidup akibat abrasi dan kebakaran hutan selalu kami rasakan. Kami rakyat kecil yang merasa terzolimi sekian lama.

Saya bersama teman dulunya seperti kalian mahasiswa, yang berada di garis terdepan berjuang. Berteriak lantang. Bahkan kami pernah menyuarakan ketidak adilan, dari jauh-jauh kami datang ke Jakarta melakukan demonstrasi. Kami pernah sangat muak pada pemerintah karena ketidakadilan.

Kurang lebih dua puluh tahun kami berjuang untuk mendapatkan hak lingkungan hidup yang adil dan sehat. Saat kepercayaan kami di titik nadir, Negara akhirnya hadir. Untuk pertama kalinya, ada Menteri yang memperhatikan kami yang tinggal di pelosok kampung.

Hampir semua pengaduan yang kami kirim cuma lewat WA, mendapat respon langsung dari Menteri. Mustahil rasanya secara logika, seorang rakyat kecil berkomunikasi langsung dengan pejabat negara setingkat menteri, tapi itu benar terjadi. Meski kami tidak pernah berjumpa dan kenal sebelumnya dengan beliau, tapi perjuangan kami memperbaiki lingkungan selalu mendapat dukungan.

Awalnya Ibu Menteri memang tidak langsung datang ke kampung kami. Tapi ia datang dengan program kerja pemulihan lingkungan mangrove di tahun 2020. Inilah pertama kalinya kampung kami ada program Pemulihan Ekonomi Nasional rehabilitasi untuk menangani parahnya abrasi di kampung kami.

Ratusan warga kampung yang kesulitan di masa pandemi, mendapatkan penghasilan dari kegiatan ini. Lebih dari seribu orang kini mendapatkan manfaat langsung maupun tidak langsung dari program mangrove.

Kami diberi nafas untuk hidup dan memperbaiki kehidupan. Lebih kurang 10 juta bibit mangrove ditanam di pesisir pantai pulau kami. Inilah ikhtiar yang kami lakukan bersama-sama untuk menjaga tiap jengkal tapak tanah wilayah kedaulatan Republik Indonesia tidak jatuh menjadi lautan. Kami berjuang untuk lingkungan kampung dan pulau  kami, dan untuk menjaga batas negara Republik Indonesia di pulau terdepan ini.

Ibu Siti juga menurunkan tim untuk melihat langsung dampak abrasi di kampung kami. Berkat Bu Siti juga, sekarang kami punya secercah harapan akan ada pembangunan pemecah ombak di sepanjang pulau Bengkalis. Bisa dikatakan, Ibu Siti adalah pejuang lingkungan untuk kampung dan pulau kami.

Selain itu upaya kami juga melakukan pemulihan gambut dengan tanaman asli hutan jenis geronggang yang telah berhasil kami budidayakan hingga ratusan hektar, semua itu atas semangat dan motivasi yang diberikan oleh Ibu Siti Nurbaya kepada kami.

Setelah waktu berlalu, puncaknya Ibu Siti benar-benar menjejakkan kaki kekampung kami di Desa Muntai beberapa minggu lalu. Ia datang tidak dengan helikopter, tapi menggunakan jalur darat. Bukan rute yang mudah untuk dilalui pejabat negara, tapi tetap ditempuhnya seharian dan harus menyeberang pulau untuk datang ke pelosok desa kami.

Hari berikutnya, Desa kami didatangi Bapak Presiden Jokowi. Inilah sejarah sejak Indonesia merdeka 76 tahun baru ada Presiden dan Menteri menjejakkan kaki datang ke pelosok Desa Muntai bahkan pulau kami. Bersama ratusan warga, Bapak Presiden dan Ibu Menteri menanam mangrove di tepian Pantai Raja Kecik.

Penanaman mangrove tersebut menurut apa yang kami rasakan bukanlah seremonial, karena sebelum Presiden dan Menteri datang, masyarakat desa Muntai, Muntai barat dan sejumlah pantai desa di pesisir pulau bengkalis sudah menanam lebih dulu sekitar 180 ha lebih sejak tahun 2020 dibantu oleh program PEN-PKM KLHK. Tahun ini masyarakat kami masih melanjutkan penanaman mangrove dengan luasan yang lebih besar lagi bersama BRGM.

Pertanyaan kami kepada adek-adek mahasiswa yang mengatas namakan BEM UI apakah kalian pernah melihat gambut terbakar? apakah kalian pernah merasakan derita menghirup asap berminggu- minggu ? Jika belum, datanglah dan tanyakan pada masyarakat di kampung kami bagaimana rasanya menjadi korban kebakaran hutan dan lahan. Bahkan dulu asap karhutla sampai ke negara tetangga. Tapi itu dulu dan cerita yang lalu.

Sudah dua tahun terakhir, langit kami sangat biru. Jikapun sesekali ada karhutla, tidak akan lama sudah padam. Banyak pihak sekarang mengurus karhutla. Bagi kami ini adalah masa-masa yang perlu sangat disyukuri, karena baru di masa Menterinya seorang perempuan, lingkungan hidup benar-benar terasa diurusi dengan baik dan benar. Melibatkan banyak pihak, termasuk melibatkan peran serta LSM dan masyarakat.

Lingkungan hidup dan hutan Riau ini memang sudah rusak, dirusak oleh kebijakan dan ulah pembuat kebijakan masa lalu, yang memberi izin hanya pada cukong dan aseng. Tapi sekarang izin justru diberikan pada saudara-saudara kami yang kecil-kecil lewat perhutanan sosial dan TORA. Kelompok tani hutan sekarang sedang mendapatkan haknya. Suara dan teriakan kami dipelosok ini sudah didengar oleh Jakarta.

Saya yang tak lulus SD tapi tidak sedikit memiliki pengalaman dari perjalanan hidup dan dari membaca di internet, kalau sekarang ini deforestasi Indonesia mencatat angka terendah sepanjang sejarah. Harusnya adik-adik yang mengatas nama kan BEM UI membantu pemerintah yang pro masyarakat seperti kami ini dan tidak hanya bisa mengkritik saja mereka yang benar-benar berjuang sepenuh hati untuk kami rakyat di tingkat bawah ini.

Dari fakta yang kami rasakan dengan data yang dimiliki BEM UI rasanya sangat bertolak belakang, entah data mana yang gunakan?  entah lapangan mana yang dikunjungi untuk jadi dalih perjuangan?

Apakah BEM UI  pernah ikut memadamkan api  di lahan gambut yang tengah membara? apakah BEM UI pernah berlumpur ikut menanam mangrove di lahan kritis seperti yang sedang kami laksanakan bersama pemerintah demi mempertahankan wilayah kedaulatan Indonesia?

Dengan demikian muncul pertanyaan kami, sesungguhnya siapa yang diperjuangkan oleh kaum terpelajar? rakyat seperti masyarakat kami kah atau para cukong yang tidak suka dengan keberpihakan Ibu siti kepada kami masyarakat lemah?

Untuk adik-adik mengatas namakan BEM UI. Kami mengundang kalian datang ke kampung kami. Lihat apa yang kami kerjakan di sini. Kami sedang berjuang menjaga tiap jengkal tapak negara kita, dan mengajak ribuan orang hidup serasi dengan alam tanpa merusaknya.

Kami juga selalu mendoakan agar Presiden dan Ibu Menteri sehat selalu, agar pemulihan lingkungan terus dikerjakan bersama-sama, termasuk juga mewujudkan harapan kami yaitu Pos Lintas Batas Negara (PLBN) di kampung kami.

Adik-adik BEM UI harusnya kita bicara berdasar fakta dan tidak hanya mengkritik tanpa kerja. Kami yang jauh dari Ibukota Jakarta, justru selalu mendoakan Presiden dan Menteri yang tinggalnya pasti dekat dengan kampus kalian, tapi kalian justru meminta Menteri dicopot dengan alasan yang bertolak belakang dengan apa yang kami rasakan  di pelosok negara ini.

Adik-adik BEM UI, datanglah ke Provinsi dan kampung kami.  Lihatlah fakta sebelum kalian bicara. Disini langit sedang biru-birunya. Tidak ada karhutla. Di sini bibit mangrove mulai memberikan secercah harapan untuk dapat membentengi pulau-pulau kami, meski dihadang ombak selat Melaka. Kami sangat bersyukur karena hadir pahlawan lingkungan yang tidak butuh orasi kosong tapi kerja nyata.

Jika kalian mengatasnamakan kaum  intelektual dan perjuangan untuk rakyat, rakyat mana sesungguhnya yang sedang kalian perjuangkan? Apa yang sudah kalian lakukan untuk kami di pulau terdepan ini sebelumnya?

Harusnya kalian orang-intelektual dan terpelajar menjadi nadi dari pergerakan Nasional, memperkokoh Indonesia sebagai sebuah Bangsa. Kami dari pelosok Desa pulau terdepan terluar Indonesia nun jauh di mata sangat sedih melihat statment kritik yang dikeluarkan mengatasnamakan  BEM UI yang terkesan asal bicara menyudutkan pahlawan lingkungan kami.

Kami menilai sepertinya adek-adek tidak melihat fakta lapangan dan tidak mencerminkan  intelektualitas yang baik dalam mendukung perjuangan lingkungan hidup dan kehutanan, tapi justru sebaliknya. Kami khawatirkan sikap kalian justru akan membuka ruang diantara anak bangsa saling berpecah belah, setiap waktu kerja Presiden jadinya  gonta ganti Menteri dan bukan ngurusin rakyat.

Dari Solihin tepian Pantai Raja Kecik, Pulau Bengkalis dan sekaligus Pembina LSM Ikatan Pemuda Melayu Peduli Lingkungan bersama teman-teman


Komentar Via Facebook :

Berita Terkait