Catatan Kecil Redaksi oketimes.com

Selain Kasus Mandek, Kejati Riau Rajin SP3 Dugaan Korupsi

ILustrasi

PEKANBARU, Oketimes.com - Penghentian kasus dugaan korupsi yang dilakukan oleh Kejaksaan Tinggi (Kejati) Riau, sudah tidak asing lagi di dengar oleh masyarakat yang berjulukan negeri Lancang Kuning itu selama ini.

Setelah sukses menghentikan sejumlah kasus dugaan korupsi selama beberapa tahun terkahir ini, kali ini Kejati Riau, kembali mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) terhadap kasus dugaan korupsi di Dinas Pendidikan Provinsi Riau.

SP3 itu, terkait kasus dugaan korupsi pengadaan media pembelajaran (perangkat keras) Informasi Teknologi (IT) dan Multimedia untuk SMA sederajat di Dinas Pendidikan Riau T.A 2018 senilai Rp 2,5 miliar dari total Rp 23,5 miliar.

Korps Adhiyaksa itu, menghentikan penyidikan perkara dugaan korupsi tersebut, dengan alasan kedua tersangka, yakni Hafes Timtim selaku Mantan Kabid SMA Disdik Riau sekaligus Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dan Rahmad Danil Direktur PT Airmas Jaya Mesin (Ayoklik.com) Cabang Riau.

Asintel Kejati Riau, Raharjo Budi Kisnanto mengatakan, kedua tersangka telah mengembalikan kerugian negara yang ditimbulkan senilai Rp 2,5 miliar lebih, sebelum berkas perkara dua tersangka itu dilimpahkan ke tahap penuntutan.

Menurutnya, nilai kerugian negara sebesar Rp 2,5 miliar itu, sesuai dengan hasil audit perhitungan kerugian keuangan negara oleh Inspektorat Provinsi Riau, atas dugaan tindak pidana korupsi dalam kegiatan ini, setelah adanya perbaikan dan penginstalan ulang software.

"Sebelum berkas perkara atas nama tersangka di limpahkan ke tahap penuntutan, tersangka telah melakukan pembayaran untuk mengganti kerugian keuangan negara sebesar Rp2,5 miliar lebih. Uang itu ditrasfer tersangka ke rekening Kejati Riau, dengan nama rekening RPL 008 Kejati Riau di Bank BRI," papar Raharjo Budi Krisnanto kepada wartawan pada Selasa (13/07/2021) di Pekanbaru,

Pengembalian tersebut lanjut Raharjo, para tersangka sempat dilimpahkan ke pengadilan tindak pidana korupsi. Namun kini, penyidik berpendapat bahwa unsur kerugian keuangan negara sudah dipulihkan.

Dia juga menyebutkan, berdasarkan 7 program kerja Jaksa Agung tahun 2021 dalam poin 6, menyebutkan bahwa peranan perkara tindak pidana korupsi yang berkualitas dan berorientasi pada penyelamatan keuangan negara.

"Sehingga perkara dugaan korupsi Disdik Riau ini, demi asas kemanfaatan hukum dan asas keadilan, maka unsur kerugian keuangan negara tidak terpenuhi lagi," ulas Raharjo.

Selain mengembalikan kerugian negara, barang-barang pengadaan perangkat keras sudah diadakan oleh penyedia, dalam alam hal ini PT Airmas Jaya Mesin, sudah dapat dimanfaatkan oleh Disdik Riau.

"Dalam hal ini, terlihat tersangka sudah memiliki itikad baik, dengan adanya pengembalian kerugian keuangan negara tersebut. Dengan tidak terpenuhinya salah satu unsur kerugian keuangan negara, sehingga penyidikan perkara ini, dihentikan dan menerbitkan Surat Penetapan Penghentian Penyidikan (SP3)," pungkas Raharjo.

Sebelumnya, Kejaksaan Tinggi Riau lewat Team Asisten Pidana Khusus (Aspidsus) Kejati Riau, menetapkan dan menahan dua tersangka dalam perkara dugaan korupsi pengadaan piranti keras pembelajaran Dinas Pendidikan Provinsi Riau pada Senin 20 Juli 2020.

Kepala Kejaksaan Tinggi Riau Mia Amiati saa itu, membenarkan pihaknya telah menetapkan tersangka dan menahan kedua tersangka yakni Hafiz Timtim alias HT selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) sekaligus Kepala Bidang Pengembangan SMA sederat Disdik Riau bersama Direktur PT Airmas Jaya Mesin (Ayoklik.com_red) cabang Riau, Rahmad Dhanil alias DN.

"Pada perkara ini, kami sudah menetapkan dua tersangka dugaan korupsi pengadaan media pembelajaran perangkat keras Disdik Riau. Mereka adalah berinisial HT dan RD," kata Kepala Kejaksaan Tinggi Riau Dr. Dra. Mia Amiati SH MH kepada wartawan pada Senin 20 Juli 2020 di kantor nya Jalan Jenderal Sudirman Pekabaru.

Dikatakan Mia, berdasarkan hasil penyidikan yang dilakukan Tim Aspidus Kejati Riau, perbuatan HT dinilai tidak cermat dalam melaksanakan kegiatan tersebut, dimana HT tidak melakukan survei harga pasar terlebih dahulu dalam kegiatan pengadaan alat pembelajaran tersebut.

"Akibatnya, berpotensi rawan untuk diseleweangkan atau korupsi hingga mencapai puluhan miliar terjadi. Semestinya, dia (HT_red) pelaksanaan proyek itu, menggunakan kalatog elektronik," ulasnya.

Mantan Kejari Cibinong itu juga menuturkan, dalam menyusun harga perkiraan sendiri (HPS) berdasarkan pesanan broker.

Kemudian, faktanya tersangka melakukan pengadaan dengan bersekongkol dengan pihak ketiga, serta menerima gratifikasi dan fasilitas dari pihak ketiga atau rekanan.

"Untuk tersangka RD, perbuatannya 'bersekongkol' menentukan spesifikasi barang dengan tersangka HT," tandas wanita berdarah Sunda itu meyakinkan.

Menurutnya, kegiatan tersebut bersumber dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Riau pada tahun 2018 yang diselenggarakan Dinas Pendidikan (Disdik) Riau dan menelan uang rakyat sebesar Rp 23,5 miliar.

Pada saat itu, Asisten Pidana Khusus (Aspidsus) Kejati Riau, Hilman Azizi juga mengatakan, pihaknya telah melakukan penahanan terhadap dua tersangka. Penahanan itu, dilakukan usai proses pemeriksaan oleh penyidik.

"Kami sudah melakukan penahan terhadap HT dan RD. Meraka akan ditahan selama 20 hari ke depan," sebut Hilman.

Menurutnya, penyidik telah memeriksa sebanyak lima belas saksi dan memintai keterangan tiga saksi ahli. Salah satu saksi yang diperiksa diantaranya mantan Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Riau Rudiyanto SH, yang saat ini menjadi Staf Ahli Bidang Pembangunan dan Infrastruktur Setdaprov Riau.

Selanjutnya, ikut juga diperiksa mantan Kabid Pengembangan SMK Indra Agus Lukman yang saat ini menjabat Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Riau dan Agussalim, Kepala Bagian (Kabag) ULP pada Biro Pengadaan Barang dan Jasa Setdaprov Riau.

"Saat ini, kami juga mendalami adanya aliran dari pihak lain untuk memuluskan kegiatan ini. Itu masih kami gali lagi," imbuhnya.

Atas perbuatan itu, Kejati Riau menjerat kedua tersangka dengan Pasal 2 ayat (1) Junto Pasal 18 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah dirubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Jo Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP.

Informasi yang dirangkum, dugaan korupsi pada pembelian komputer/laptop melalui e-katalog dilakukan Disdik Riau sebagai barang elektronik untuk persiapan peralatan UNBK di Disdik Riau.

Kegiatan semestinya dilakukan secara independen oleh Disdik Riau, namun terindikasi diatur oleh satu perusahaan. Karena perusahaan diduga mengatur kegiatan mulai dari perencanaan hingga pelaksanaan kegiatan.

Pada tahun 2018, pembelian tahap pertama ditaksir sekitar Rp 23,5 Miliar, sudah berlangsung dan terindikasi menjadi 'bancakan' beberapa perusahaan dan juga dinas pendidikan.

Kongkalikong itu, dilakukan sebelum kegiatan dilaksanakan oleh Disdik Riau. Modus yang dilakukan, juga tergolong cukup baru dan rapi.

Akan tetapi dalam perjalannya tidak semulus yang diduga, bak pepatah sepandai-pandainya menyimpan bangkai yang busuk, suatu saat akan tercium juga, dan kini Kejaksaan Tinggi Riau memberikan 'angin segar' kepada dua tersangka, pasca dilakukan SP3 kasus tersebut.

LSM Berang

Tekait SP3 tersebut, LSM Barisan Rakyat Anti Korupsi (Bara Api) Riau, menilai penghentian penyidikan kasus korupsi (SP3) oleh penyidik Kejaksaan Tinggi (Kejati) Riau merupakan sesuatu yang tak wajar.

"Sudah jelas dalam pasal 4 Undang Undang Tipikor (Tindak Pidana Korupsi_red) disebutkan, pengembalian kerugian negara tidak menghapus pidana," tegas Ketua LSM Bara Api Riau Jackson Sihombing dalam perbincangan dengan, Rabu (14/7/2021) siang di Pekanbaru.

Pria yang akrab disapa Jack Hombing itu, menanggapi penjelasan Raharjo Budi Krisnanto, Asisten Intelijen Kejati Riau yang menyebutkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) kasus dugaan korupsi pengadaan media pembelajaran (perangkat keras) Informasi Teknologi (IT) dan Multimedia untuk SMA sederajat di Dinas Pendidikan Riau, karena telah ada pengembalian kerugian negara.

"Ini jelas tidak wajar, Kejaksaan Tinggi Riau sepertinya sudah menjadi hobi menghentikan penyidikan perkara korupsi," tukasnya.

Menurut Jack Hombing, dalam KUHAP, diterangkan SP3 bisa terbit karena tiga alasan. Pertama, tidak cukup bukti. Kedua, bukan tindak pidana, dan ketiga demi hukum.

Apa yang dimaksud demi hukum ialah, meninggalnya tersangka hanya itu saja alasannya kalau pengembalian kerugian negara bukan alasan SP3.

Delik korupsi yang merugikan negara sebagaimana disebut Pasal 2 dan 3 Undang Undang Tipikor, adalah delik formil materil.

"Yang dimaksud delik formil materil, yaitu ketika unsur delik terpenuhi, maka tindak pidana dianggap sempurna, artinya sudah terjadi tindak pidana," ulas Jackson.

Kejaksaan sebagai penuntut seharusnya menyerahkan ke pengadilan, karena mereka sendiri yang mengusut hingga ditemukan alat bukti dan kerugian negara.

"Kita akan siapkan gugatan untuk penghentian kasus Korupsi anggaran media pembelajaran berbasis IT dan multimedia ini, agar kasus ini kembali dibuka," pungkasnya.

Sementara itu, meminjam pernyataan Pakar hukum pidana UNRI Erdianto Efendi, menilai SP3 tersebut, merupakan suatu hal yang boleh dilakukan secara hukum.

Asalkan lanjur Erdianto, memenuhi ketentuan yaitu tidak ada alat bukti, bukan tindak pidana, sudah kadaluarsa sesuai ketentuan KUHP pasal 76,77 dan 78 dan tersangkanya meninggal dunia.

"Dalam kasus ini saya melihatnya mungkin tidak cukup bukti, bukan tindak pidana, dan penghentian penyidikan itu tidak wilayah subjektif, politik atau kebijakan artinya betul murni karna hukum," katanya kepada wartawan pada Selasa 20 April 2021 di Pekanbaru.

Tapi menurutnya, dewasa ini tambahnya, ada peraturan jaksa Agung No 5 tahun 2015, yang membolehkan penghentian penuntutan terhadap pada tindak pidana, apabila nilai kerugian itu sudah dikembalikan oleh para pihak.

"Nah bagi pihak-pihak yang berkeberatan atas putusan itu silahkan diuji di Praperadilan, sebab kejaksaan punya dasar hukum jadi tidak sembarang menghentikan penyidikan," ujarnya.

Ditanya soal perbandingan ketegasan antara pimpinan Kejati Riau yang lama Mia Amiati dan yang sekarang Jaja Subangja soal penindakan kasus, Erdianto mengantakan bahwa dirinya tidak mau masuk ke ranah tersebut.

"Saya bicara sebatas keilmuan hukum saja dan tak enak pula masuk pada ranah menilai seseorang. Tapi intinya bagi yang tidak berkenan silahkan menggugat ke praperadilan seperti kasus 13 perusahaan yang ditangani Polda, jadi seperti itu jalan keluarnya," tutupnya.

Rajin SP3-kan dugaan Korupsi

Sebelumnya, Kejaksaan Tinggi Riau juga telah menghentikan kasus dugaan korupsi pada pengadaan video Wall Dinas Komunikasi Informatika, Statistik dan Persandian Pemko Pekanbaru. Padahal dugaan korupsi itu, diduga menyebabkan kerugian negara hingga Rp 3,9 miliar.

Asisten Pidana Khusus (Aspidsus) Kejati Riau, Hilman Azizi pernah mengatakan, pihaknya menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) atas penyidikan perkara tersebut. "Iya, sudah SP3, dihentikan," kata Hilman kepada wartawan pada Jumat (28/8/2020) di Pekanbaru.

Menurutnya, penghentian penyidikan dilakukan, karena kerugian negara telah dikembalikan sesuai kerugian yang ditimbulkan, dan untuk perangkat yang diperlukan tetap difungsikan atau diadakan.

"Karena negara sudah diuntungkan. Perangkat video wall tetap terpasang seharga Rp 4 miliar. Dan mereka kita bebani pengembalian kerugian negara sebesar anggaran itu," sebut Hilman.

Disinggung terkait status dua orang yang sebelumnya yang telah ditetapkan sebagai tersangka, seorang pegawai Aparatur Sipil Negara (ASN) di Pemko Pekanbaru berinisial VH alias Vinsensius selaku pejabat pelaksana teknis kegiatan (PPTK).

Sedangkan dari pihak swasta berinisial AMI yang merupakan Direktur CV Solusi Arya Prima, perusahaan penyedia monitor video wall ilegal itu, dipilihkan, atau status tersangkanya dicabut. "Otomatis dipulihkan," jelas Hilman.

Diketahui, penyelidikan perkara korupsi pengadaan video wall di Pemkot Pekanbaru itu, berawal saat dua unit monitor video wall itu mengalami kerusakan.

Ada 15 unit monitor video wall, dua di antaranya mengalami kerusakan, saat Diskominfotik Pemkot Pekanbaru menghubungi perusahaan layar monitor resmi, mereka tidak mau memperbaikinya karena tidak merasa ada memasukkan unit ke Pemkot Pekanbaru.

Kejati Riau kemudian melakukan penyelidikan dari mana sebenarnya pengadaan monitor video wall itu. Ada sebesar Rp 4,4 miliar anggaran APBD yang dianggarkan untuk pengadaan 15 unit monitor video wall itu.

Sedikitnya ada 18 saksi yang diperiksa, termasuk Eka Firmansyah Putra selaku pengguna anggaran sekaligus pelaksana tugas Diskominfotik Pekanbaru, hingga ada dua tersangka.

Dua tersangka tersebut seorang pegawai Aparatur Sipil Negara (ASN) di Pemko Pekanbaru berinisial VH alias Vinsensius selaku pejabat pelaksana teknis kegiatan (PPTK), dan dari pihak swasta berinisial berinisial AMI yang merupakan Direktur CV Solusi Arya Prima, perusahaan penyedia monitor video wall ilegal.

Adapun modus operandi yang dilakukan oleh kedua tersangka, adalah dengan melakukan pengadaan tetap dengan menggunakan katalog elektronik. Faktanya pengadaan tersebut tidak sesuai dengan yang tertera di katalog elektronik.

VH ini kemudian bersekongkol dengan AMI, untuk mengadakan monitor tanpa melalui jalur pabrikan resmi atau secara ilegal. Peralatan elektronik itu, tidak memiliki dokumen resmi termasuk garansi. Dampaknya peralatan yang digunakan tidak sesuai keinginan dan mudah rusak.

Adapun pengadaan video wall itu, bertujuan untuk mengusung visi Kota Pekanbaru sebagai Smart City. Anggaran dialokasikan dalam APBD Pekanbaru 2017 sebesar Rp 4.448.505.418.

Selanjutnya dalam kasus dugaan korupsi di PT Sarana Pembangunan Riau (SPR), Kajati Riau juga hentikan dan sekarang diam-diam kasus bagi-bagi jatah proyek di Kabupaten Bengkalis juga dihentikan Kejati, dengan alasan karna tidak cukup bukti.

Tidak sampai disitu, Kejati Riau juga menghentikan proses penyelidikan atau penyidikan dugaan Korupsi Pengadaan Komputer atau server di Dinas Komunikasi, Informatika dan Statistik Provinsi Riau pada awal Juli 2018 lalu.

Hingga kini, Kejati Riau, belum juga menetapkan satu pun tersangka yang dinilai sudah merugikan keuangan negara mencapai Rp 3,1 miliar itu.

Padahal, Aspidsus Kejati Riau sudah memangil dan memintai keterangan dari pejabat terkait, mulai dari Kuasa Pengguna Anggaran, PPK, PPTK, Kelompok kerja (Pokja) di Unit Layanan Pengadaan (ULP) Provinsi Riau, rekanan hingga pihak swasta yang menyediakan peralatan TV, audio dan server pengadaan komputer tersebut.

Kasi Penkum dan Humas Kejati Riau Muspidauan saat dikontak lewat ponselnya, pada Rabu (08/08/2018), membenarkan bahwa pihaknya saat itu belum ada menetapkan tersangka terkait dugaan kasus tersebut, dengan alasan pihak penyidik masih melakukan pengembangan.

Sehingga pihaknya belum bisa atau ada menetapkan satu pun tersangka, meski sudah puluhan saksi dimintai keterengan.

"Saat ini kita belum ada menetapkan tersangkanya, sebab masih proses pengembangan penyelidikan untuk penyidikan. Sabar saja, nanti kita akan umumkan secepatnya," katanya.

Ditanya, sudah berapa orang saksi yang dipanggil untuk dimintai keterangan terkait seputar kasus korupsi tersebut, Muspidauan tidak bisa memaparkan secara satu persatu siapa saja yang sudah dipanggil.

Ia hanya bisa mengatakan bahwa saat ini pihaknya sudah memanggil 10 saksi terkait kasus korupsi pengadaan komputer dan server tersebut ke Kejati.

"Untuk saat ini masih kurang lebih 10 saksi yang sudah kita panggil, hanya saja siapa namanya dari pihak mana saja yang kita mintai keterangan belum bisa kita sampaikan. Semuanya itu pasti terkait pelaksanaan proyek pengadaan komputer atau server tersebut," pungkas Muspidaun.

Disinggung bagaimana tehadap PPK, PPTK, dan pihak rekanan yang sudah dipanggil terkait proyek tersebut. Lagi Muspidaun hanya bisa mengatakan berkemungkinan sudah diperiksa, sebab ada 10 orang sudah dipanggil terkait itu.

Informasi yang dihimpun, selain pihak Kejati Riau sudah memanggil pihak Diskominfotik Riau, seperti Edi Yusra selaku Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) merangkap Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), Dedi Hasfarizal selaku Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK), Kelompok Kerja (Pokja) di Unit Layanan Pengadaan (ULP) Provinsi Riau.

Ternyata pihak Kejati Riau sudah memanggil dan memintai keterangan dari pihak rekanan yakni, PT Solusi Media Ravel Teknologi (SMRT) PT Blue Power Technologi Software Company In South yang merupakan perusahaan pendukung (supporting).

Belakangan Tim Pidsus Kejari Riau, memanggil Pemilik Toko Batam Elektronik di Jalan Nangka atau Tambusai Pekanbaru, yakni Adjuan alias Along yang diperiksa sebagai saksi kasus dugaan korupsi pengadaan komputer atau server di Dinas Komunikasi, Informatika dan Statistik Provinsi Riau.

Aspidus Kejati Riau memanggil Along, guna menggali informasi dari bos toko elektronik terbesar di Riau ini atas dugaan 'kongkalikong' soal harga perkiraan sementara HPS yang ditetapkan pejabat Diskominfotik Riau dengan pemilik toko.

Sehingga pihak rekanan PT SMRT Perusahaan ini diketahui membeli alat elektronik di Toko Batam Elektronik di Jalan Tuanku Tambusai Pekanbaru. Barang dibeli dengan harga pasar tetapi, diduga ada rekayasa pengaturan harga perkiraan sendiri (HPS).

Sebagaimana diketahui, pengadaan komputer atau server alat-alat audio, alat-alat komunikasi dan implementation IOC di Dinas Kominfotik Riau berpagu dana Rp 8,8 miliar pada tahun 2016 lalu.

PT Solusi Media Ravel Teknologi (SMRT) dan PT Blue Power Technologi Software Company In South selaku perusahaan pendukung (supporting), memenangkan tender tersebut dengan nilai tawar Rp 8,4 miliar, setelah menyingkirkan 44 perusahaan lain peserta lelang dan membeli alat elektronik di Toko Batam Elektronik di Jalan Tuanku Tambusai Pekanbaru, dengan modus barang yang dibeli dengan harga pasar tetapi, diduga ada rekayasa pengaturan harga perkiraan sendiri (HPS).

Usut punya usut, dari pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI Perwakilan Riau, ditemukan adanya kelebihan bayar sebesar Rp 3,1 miliar. Atas hal itu, Kejati Riau melakukan penyelidikan untuk mencari bukti pidana dalam proyek itu.

Hingga akhirnya, jaksa meningkatkan status perkara ke tahap penyidikan berdasarkan Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) Nomor : PRINT-07/N.4/Fd.1/07/2018 tanggal 6 Juli 2018 dan sprindik itu ditandatangani Kepala Kejati Riau Uung Abdul Syakur.

Terpisah, Adjuan alias Along saat dikonfirmasikan lewat ponselnya, Rabu sore, membenarkan bahwa pihaknya sudah dipanggil oleh Tim Aspidus Kejati Riau, pada Selasa (7/8/2018), terkait seputar pembelian barang elektronik yang dilakukan PT SMRT kepada Toko Batam Elektronik.

"Ya benar, memang saya ada dipanggil kemarin, tapi saya hanya menerangkan saja. Bahwa barang elektronik yang dibeli PT SMRT hanya berupa TV LCD dan audionya saja. Sedangkan komputer dan server tidak ada, yang ada hanya TV dan Audio saja," aku Along.

Ditanya berapa banyak TV LCD dan Audio yang dibeli oleh PT SMRT kepada Batam Elektronik, Along tidak bersdia menjelaskan dengan alasan bahwa hal tersebut ditanyakan saja kepada pihak rekanan.

"Jangan sayalah, saya kan hanya menyediakan TV LCD dan Audionya saja, tanya sajalah ke PT SMRTnya ya, saya lagi ada tamu ni," elak Along seraya menyudahi percakapan oketimes.com lewat ponsel.

Kasus dugaan korupsi Mandek

Selain menghentikan kasus dugaan korupsi, sejumlah kasus juga terkesan mandek ditangani oleh Kejaksaan Tinggi Riau, salah satunnya terkait dugaan mega proyek dugaan kasus korupsi di Kabupaten Kuantan Singingi biaya Rp 130 miliar.

Tiga mega proyek di Kabupaten Kuantan Singingi, Riau, justru terbengkalai. Akibatnya bangunan berupa pasar modern, hotel berbintang dan sebuah universitas, tak bisa dimanfaatkan masyarakat.

Kasus ini tengah diusut kejaksaan negeri (kejari) setempat, namun proses pengumpulan bukti, berupa dokumen terkait proyek dan pengumpulan keterangan tengah dilakukan.

Bahkan Kejaksaan Tinggi (Kejati) Riau turun tangan untuk memantau pengusutan kasus ini agar berjalan sesuai aturan berlaku dan memenuhi harapan masyarakat yang melaporkannya.

Ketua Independen Pembawa Suara Pemberantas Korupsi dan Kriminal Ekonomi (IPSPK3) sempat, mendesak Kejati Riau, segera mengambil alih kasus tersebut.

"Kami minta Kejati Riau segera memanggil dan memeriksa pihak-pihak terkait yang terindikasi terlibat di dalamnya yang diduga telah merugikan negara," kata Ganda Mora pada Sabtu, 29 Oktober 2016.

Dia juga mendesak Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Wilayah Riau, segera mengaudit proyek tersebut. "Itu kan aset negara jadi harus bisa diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)," ucap Ganda Mora.

Ganda Mora meminta, sejumlah pihak bertanggung jawab atas kegagalan tiga proyek tersebut. Salah satunya kontraktor yang diduganya lamban membangun dan menyalahi standar operasional dan prosedur (SOP) pembangunan.

"Proyek itu bisa jadi telah terjadi kesalahan perencanaan dan kuat dugaan tidak masuk pada Rencana Pembangunan Menengah Jangka Panjang (RPMJP) daerah setempat pada tahun sebelumnya. Mestinya, selain pemerintah daerah, kontraktor juga harus bertanggung jawab pada kegiatan ini," kata dia.

Ganda menyebut, berdasarkan data yang dimilikinya, persoalan terbengkalainya megaproyek itu, karena pemerintah saat ini (dengan kepala daerah baru) tidak bersedia membayar kekurangan proyek.

Kejati Riau memastikan terus mengusut kasus tersebut. "Kejati Riau mengawasi bagaimana proses penanganannya. Prosesnya masih jalan sampai sekarang," kata Kepala Seksi Penerangan Hukum dan Humas Kejati Riau, Muspidauan, Jumat, 28 Oktober 2016.

Mus, begitu sapaan akrabnya, menyatakan pengawasan dilakukan mulai dari penyelidikan, penyidikan dan penuntutan nanti. Termasuk jika suatu saat dikeluarkan SP3 kalau tak cukup bukti. "Saya pastikan Kejati Riau selalu mengawasi penanganan yang dilakukan Kejari," ujar Mus.

Tiga proyek pada 2014 lalu itu, diberi nama proyek tiga pilar dengan nilai Rp 130 miliar. Pertama kali dibangun, tiga bangunan itu sempat dipakai pada awal 2015. Namun hingga Oktober 2016, bangunan mulai rusak dan tak bisa dimanfaatkan.

Kasus tersebut sempat ditangani Kejari Kuantan Singingi pada awal 2015. Namun hingga saat ini tidak ada perkembangan lebih lanjut. Anggaran proyek tersebut berasal dari APBD 2014-2015.

Selanjutnya, Kejati Riau juga pernah mengusut dugaan korupsi pengadaan lahan Perkantoran Terpadu Pemerintah Kota (Pemko) Pekanbaru. Proyek pengadaan lahan di Kecamatan Tenayan Raya, disinyalir merugikan keuangan negara mencapai miliaran rupiah.

Guna mendalami sangkaan ini, Korps Adhiyaksa Riau diketahui mengundang sejumlah pejabat di lingkungan Pemko Pekanbaru untuk diklarifikasi. Langkah itu dilakukan dalam rangka pengumpulan data dan bahan keteragan.

Kasi Penerangan Hukum dan Humas Kejati Riau Muspidauan membenarkan bahwa pihaknya tengah mengusut dugaan rasuah pengadaan lahan yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kota Pekanbaru.

"Iya, kami mengusut dugaan korupsi pengadaan lahan (perkantoran Pemko Pekanbaru di Tenayan Raya, red). Penanganan perkara ini belum naik ke tahap penyelidikan, kami masih melakukan klarifikasi," kata Muspidauan kepada wartawan belum lama ini.

Menurutnya, Perkara tersebut ditangani Bidang Pidana Khusus (Pidsus) Kejati Riau dan sejauh ini sudah ada beberapa orang yang disinyalir mengetahui pelaksanaan pengadaan lahan tahun 2013 diklarifikasi, termasuk panitia tim sembilan.

Ditanya siapa saja nama pejabat yang diklarifikasi itu, Muspiduan belum bersedia menyebutkannya. "Beberapa pihak terkait yang disanyalir mengetahui pengadaan lahan itu, sudah kami klarifikasi," sebutnya.

Muspidauan juga menyebutkan, proses klarifikasi masih akan terus berlanjut, lantaran masih ada beberapa orang yang akan dimintai keterangan untuk pengumpulan bahan keterangan dan data. "Klarifikasi ini masih berlanjut," tukasnya.

Informasi yang dirangkum dugaan korupsi pengadaan lahan komplek perkantoran Pemko Pekanbaru di Tenayan ini, telah menuai sorotan dari masyarakat.

Bahkan, permasalahan pengadaan lahan itu beberapa kali di demo sejumlah organisasi masyarakat. Salah satunya Himpunan Muda Indonesia Perjuangan (HMI-P).

Kala itu, Ketua HMI-P Broery menyatakan, terindikasi korupsi yang melibatakan sejumlah pejabat di lingkungan Pemko Pekanbaru. Tudingan ini bukan tanpa alasan, karena berdasarkan laporan dari Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) Riau yang telab mengaudit anggaran ganti rugi lahan pada tahun 2013.

BPK RI Perwakilan Riau menyebutkan, ganti rugi lahan perkantoran Tenayan Raya seluas 130 hektare hanya menelan biaya Rp 26 miliar. Dana pulahan miliar itu, sudah termasuk ganti rugi pohon sawit di atas lahan.

Sementara, oleh Pemko Pekanbaru menganggarakan dana biaya ganti rugi mencapai Rp50 miliar, sehingga diduga ada mark-up sebesar Rp 23 miliar lebih.

Kemudian kasus dugaan korupsi pengadaan lahan untuk Embarkasi Haji, yang kini belum diketahui rimbanya entah kemana.

Meski Penyidik Pidana Khusus (Pidsus) Kejaksaan Tinggi (Kejati) Riau pada Rabu (06/04/2016), sempat melakukan pemeriksaan terhadap tiga orang pemilik tanah untuk pembangunan embarkasi haji Pemerintah Provinsi Riau. Ketiganya adalah Hotma Rahmawati Damsir dan Firdaus.

Kepala Seksi Penyidikan Kejaksaan Tinggi Riau, Rachmad Surya Lubis SH MH, kepada oketimes.com, membenarkan adanya pemeriksaan tersebut, sebagai tindak lanjut dalam penyidikan dugaan korupsi pengadaan lahan untuk Embarkasi Haji.

"Kita melakukan pemeriksaan terhadap Hotma Rahmawati, Damsir, dan Firdaus. Ketiga orang tersebut merupakan pemilik tanah. Mereka diperiksa sebagai saksi terkait penyidikan kasus dugaan korupsi pengadaan lahan embarkasi haji," terang Rahmad.

Dikatakannya, ketiga pemilik tanah itu menjadi saksi untuk melengkapi berkas tersangka Nimron Varasian (sebelumnya diinisialkan NV).

"Masih dalam pemberkasan. Mereka (pemilik tanah-red) sebagai saksi fakta. Usai pemeriksaan seluruh saksi fakta, baru kita periksa terhadap tersangka NV," pungkas Rachmad.

Pemeriksaan juga telah dilakukan terhadap Wismar Usty, yang merupakan mantan Lurah Simpang Tiga, dan dua orang pemilik tanah lainnya, yakni Murtadi dan H Bonaparte.

Selain itu, juga terdapat nama Abdul Latif yang merupakan Asisten I Sekretariat Daerah Provinsi Riau, Abdul Latif, serta dua saksi lainnya, yakni Yendra selaku Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan, dan Devi Rizaldi.

Nama terakhir, saat kegiatan pengadaan lahan dilakukan, menjabat sebagai salah seorang Kepala Bagian di Setdaprov Riau, serta mantan Sekretaris Daerah Provinsi Riau, Wan Syamsir Yus.

Dalam kasus ini, selain Nimron Parasian yang merupakan kuasa pemilik tanah untuk pembangunan embarkasi haji, Penyidik juga telah menetapkan mantan Kepala Biro Tapem Setdaprov Riau, Muhammad Guntur, sebagai pihak yang diduga turut bertanggungjawab dalam perkara ini.

Guntur diduga merugikan keuangan negara sebesar Rp 8,3 miliar berdasarkan hasil audit yang dilakukan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Perwakilan Provinsi Riau.

Dugaan penyimpangan itu, muncul pada saat pembebasan lahan. Harga tanah yang dibayarkan ternyata tidak berdasarkan kepada Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) tahun berjalan, serta tidak berdasarkan pada harga nyata tanah di sekitar lokasi yang diganti rugi.

Ini sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Kepentingan Umum.

Kasus ini bermula pada tahun 2012 lalu, saat Pemerintah Provinsi Riau melalui Biro Tata Pemerintahan mengalokasikan anggaran kegiatan pengadaan tanah untuk embarkasi haji lebih kurang sebesar Rp17 miliar lebih.

Tidak jauh beda dengan kasus penggunaan anggaran rutin tau berkala mobil jabatan dan operasional dalam kegiatan belanja Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK) tahun 2014 di Bagian Umum, Sekretariat Daerah Kota Pekanbaru yang sudah dilaporkan ke Kejaksaan Tinggi (Kejati) Riau.

Kasus tersebut sempat dilaporkan oleh LSM LIPHI Lembaga Independen Peduli Hukum Indonesia (LIPHI) ke Kejaksaan Tinggi Riau pada Agustus tahun 2016 lalu.

"Ya laporan kami sampaikan pada Jumat kemarin," kata Ketua LIPHI Lembaga Independen Peduli Hukum Indonesia (LIPHI) Edwar Pasaribu kepada oketimes pada Sabtu (6/8/2016).

Disebutkannya, berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan Badan Pemeriksaan (LHP BPK) Perwakilan Provinsi Riau di Sekretariat Daerah (Setda) Kota Pekanbaru menganggarkan belanja pemeliharaan rutin/berkala mobil jabatan dan operasional dalam kegiatan belanja STNK dengan anggaran untuk mobil jabatan sebesar Rp84.975.000,00 dan mobil operasional sebesar Rp315.354.030,00 pada tahun 2014, sedangkan realisasi dari penggunaan anggaran tersebut sebesar Rp80.969.200,00 dan Rp236.677.100,00.

Kegiatan belanja STNK tersebut, agar STNK-nya yang masa berlakunya habis bisa diperpanjang. Untuk memperpanjang STNK, ada beberapa komponen biaya yang dikenakan bagi pemilik kendaraan bermotor, di antaranya BBNKB (Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor), PKB (Pajak Kendaraan Bermotor), SWDKLLJ (Sumbangan Wajib Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan) dan denda pajak kendaraan.

Denda pajak kendaraan dikenakan apabila terjadi keterlambatan dalam melakukan perpanjangan STNK bagi pemilik kendaraan bermotor. Hasil LHP BPK Perwakilan Provinsi Riau terhadap bukti pertanggungjawaban belanja STNK terdapat kelebihan biaya perpanjangan STNK sebesar Rp108.702.961,00 dari biaya yang seharusnya.

Di Pasal 23, Undang-undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, disebutkan, menteri/pimpinan lembaga/gubernur/bupati/walikota/direksi perusahaan negara dan badan-badan lain yang mengelola keuangan negara melaporkan penyelesaian kerugian negara/daerah kepada BPK selambat-lambatnya 60 hari.

Pasal 3 ayat (1) Peraturan BPK Nomor 2 Tahun 2010 menyatakan pejabat wajib menindaklanjuti rekomendasi dalam hasil pemeriksaan setelah hasil pemeriksaan diterima. Pada ayat (2) berbunyi; tindak lanjut atas rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa jawaban atau penjelasan atas pelaksanaan tindak lanjut.

Sementara itu, untuk ayat (3) menyatakan tindaklanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib disampaikan kepada BPK paling lambat 60 hari setelah laporan hasil pemeriksaan diterima.

"Kami meminta kepada Kepala Kejati Riau segera membentuk tim agar menyelidiki penggunaan anggaran tersebut," ucap Edwar.

Terkait hal itu, Mantan Kepala Bagian (Kabag) Umum Pemerintah Kota (Pemko) Pekanbaru, M Jamil saat dikonfirmasi mengatakan, LHP BPK telah menindaklanjutinya. "Silakan tanyakan ke Inspektorat," katanya singkat.

Kasus mandek yang sama juga sempat disampaikan DPRD Riau melalui Komisi A yang menyerahkan rekomendasi dan data 10 perusahaan `nakal` yang beroperasi di daerah ini ke Kejati, Kejati Riau menyatakan siap menindaklanjuti dengan melakukan penyelidikan.

"Benar, kami diminta DPRD Riau menindaklanjuti hasil kerja Pansus. Dilaporkan ke kami, ada 10 perusahaan. Tentunya Kejati Riau siap menyelidiki 10 perusahaan yang dilaporkan tersebut," kata Kasi Penkum dan Humas Kejati Riau, Mukhzan SH pada awak media, Jumat (4/3/2016.)

Dikatakannya, data 10 perusahaan itu diterima ketika ekspose dilakukan Komisi A DPRD Riau, Kamis (3/3/2016), yang diterima oleh Plh Asintel Kejati Riau Gaos Wicaksono SH. Laporan itu sedang dipelajari tim penyidik dari Kejati Riau.

"Sebab, sesuai keterangan DPRD Riau ini, bahwa 10 perusahaan terindikasi melakukan pelanggaran hukum dan nyatakan, kami akan tindaklanjuti," sebutnya.

Diketahui sejumlah perusahaan `nakal` di Riau sesuai data Pansus DPRD, 38 nama tersebut telah diserahkan kepada aparat penegakan hukum. diantaranya 10 nama diserahkan ke pihak Kejati Riau.

Ke sepuluh perusahaan tersebut adalah Duta Palma Group terdiri dari, PT Johan Santosa, PT Kencana Amal Tani, PT Mekarsari Alam Lestari, PT Wahan Jingga Timur, PT Eluan Mahkota, PT Aditya Palma Nusantara. Dan ada Non Group terdiri PT Hutahean, PT Guntung Hasrat Makmur, PT Meskom Agro Sarimas, dan PT Guntung Idaman Nusa.

Selanjutnya, kasus dugaan korupsi pembangunan Pelabuhan Dorak di Kabubaten Kepulauan Meranti. Dimana, Kejaksaan Tinggi (Kejati) Riau sempat memeriksa mantan Sekda sebelumnya yakni Zubiarsyah, setelah sebelumnya memintai keterangan Sekretaris Daerah Kabupaten Kepulauan Meranti Iqarudin.

Zubiarsyah diperiksa jaksa penyidik terkait proses pengadaan lahan atas rencana pembangunan pelabuhan Dorak di Kabupaten Kepulauan Meranti.

"Dia (Zubiarsyah) dimintai keterangannya, karena yang bersangkutan mengetahui proses pengadaan lahan tersebut," sebut Kepala Seksi dan Penerangan Hukum Kejati Riau Mukhzan SH kepada wartawan pada Rabu (03/02/2016).

Pengadaan tanah untuk pembangunan Pelabuhan Dorak itu, sendiri diketuai oleh Sekda, karena selaku Pengguna Anggaran Proyek tersebut. Sementara itu, Kepala Biro Tata Pemerintahan (Tapem) selaku Kuasa Pengguna Anggarannya (KPA).

"Keterangan Zubiarsyah sangat diperlukan dalam kasus ini. Makanya hari ini dia kita periksa," jelas Mukhzan kala itu.

Selain Zubiarsyah, seharusnya jaksa penyidik juga menjadwalkan untuk memintai keterangan saksi Abdul Arif. Namun, Abdul Arif tidak memenuhi panggilan jaksa.

"Satu tidak hadir, atas nama Abdul Arif. Dia merupakan orang penerima kuasa penjual lahan," kata Mukhzan kala itu.

Proses penyidikan perkara itu, dilakukan berdasarkan SK Kajati Riau, PRIN-02/N.4/F.d.1/01/2016, tanggal 22 Januari 2016, dimana diduga telah terjadi penggelembungan harga (Mark Up) terhadap harga tanah untuk rencana pembangunan Pelabuhan di Kawasan Dorak, Selat Panjang, Kabupaten Kepulauan Meranti.

Diketahui, pengusutan dugaan tindak pidana korupsi atas pembangunan pelabuhan Dorak dilakukan oleh dua institusi penegak hukum, yakni Polda Riau dan Kejati Riau.

Polda Riau menindaklanjuti dugaan korupsi pada pembangunan fisik, sedangkan Kejati Riau menyelidiki dugaan korupsi pada pengadaan lahan pelabuhan tersebut.

Pembangunan Pelabuhan Kawasan Dorak dirancang dengan sistem multiyears (tahun jamak). Pelabuhan tersebut dirancang bertaraf internasional, pengerjaannya ditargetkan memakan waktu tiga tahun dalam rentang 2012-2014.

Tidak kalah menarik, dugaan pelaksanaan kegiatan Bimbingan Teknis (Bimtek) fiktif, yang dilakukan Sekwan, bersama pimpinan dan anggota DPRD Kota Pekanbaru periode 2009-2014, senilai Rp635 juta pada tahun 2013 silam, resmi dilaporkan LSM Indonesian Monitoring Deplovement (IMD) ke Kejaksaan Tinggi (Kejati) Riau, Kamis (30/10/2014).

Laporan tersebut langsung diantarkan oleh Direktur Eksekutif LSM IMD Riau Raja Adnan melalui bagian umum tata usaha Kejati dan langsung diterima oleh staf umum, untuk diteruskan kepada pimpinan dalam hal ini Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Riau Setia Untung Arimuladi, SH, yang disaksikan oleh sejumlah awak media.

Usai melaporkan dugaan tindakan korupsi tersebut, R Adnan pada sejumlah awak media mengatakan dugaan korupsi bimtek fiktif tersebut, menurutnya dilakukan secara berjemaah ke 45 anggota DPRD Pekanbaru periode 2009-2014 dan Sekretaris Dewan (sekwan) beserta stafnya diduga tengah menikmati hasil korupsi itu, setelah sukses merekayasa pelaksanaan bimtek fiktif secara bersama.

"Modusnya diawali dengan merekayasa undangan Bimtek dari Universitas Krisna Dwipayana, melalui surat bodong, bernomor 211/LPPM-FH.UNKRIS/III/2013 tanggal 18 Pebruari 2013 silam. Yang ditujukan kepada pimpinan dewan dan seluruh anggota DPRD Pekanbaru periode 2009-2014," paparnya.

Bukti rekayasa itu lanjut Adnan, sesuai dengan adanya undangan dari Universitas Krisna Dwipayana tertanggal 18 Pebruari 2013 lalu.

Pelaksanaan bimtek lebih cepat dijadwalkan oleh sekwan, yakni tertanggal 10 April 2013. Artinya kata Adnan, waktu penyampaian surat hanya 19 hari sebelum pelaksanaan Bimtek dimulai.

Padahal dalam surat pentunjuk dan ketentuan surat edaran Menteri Dalam Negeri (Mendagri) nomor 160/1967/SJ, setiap penyelenggara kegiatan bimtek disarankan kepada penyelenggara agar dapat melakukan kegiatan minimal 30 hari sebelum hari H pelaksanaan bimtek dilakukan.

"Dari situ kita sudah mencurigai modus mereka, makanya kita bersedia melaporkan hal ini ke aparat hukum, termasuk ke Kajati Riau," ucapnya.

Selain bukti lain kata Adnan, dia mengaku sudah mendapatkan salinan surat Inspektorat Jenderal Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Maliki Heru Santosa yang ditujukan kepada Wali kota Pekanbaru.

Dalam surat itu lanjut R Adnan, menegaskan Badan Diklat Kemendagri tidak pernah menerima surat undangan Bimtek dari Unviersitas Krisna Dwipayana, dan tidak pernah membuat serta mengeluarkan surat rekomendasi yang ditujukan kepada Rektor, tidak pernah merekomendasi pelaksanaan Bimtek.

Dimana dalam isi surat tersebut terang Adnan, Inspektorat Jenderal Kemendagri memerintahkan Saudari Hajjah Laksmini Fitriana SH, selaku pelaksana harian Sekretaris DPRD Pekanbaru tidak berwenang membuat persetujuan Bimtek.

Kemudian Sekretariat DPRD Pekanbaru diperintahkan wajib mengembalikan uang Bimtek sebesar Rp635,5 juta ke kas negara paling lama 60 hari surat tersebut diterima pihak Sekwan.

Ditanya, apakah LSM IMD sudah mempertanyakan pengembalian uang negara tersebut kepada pihak Sekwan?

Adnan menjelaskan, bahwa pihaknya selama ini merasa kesulitan untuk memintai penjelasan tentang realisasi pengembalian uang tersebut, dengan alasan bahwa pihak sekwan sendiri hingga kini belum bersedia memberikan informasi tersebut kepada LSM IMD Riau.

"Karena itulah, makanya kita melaporkan hal ini kepada pihak Kejati. agar permasalahan ini menjadi terang benderang ditengah-tengah masyarakat," katanya.

Adnan berharap, pihak Kejati Riau segera memeriksa dan menangkap terlapor utama, yakni ke 45 anggota DPRD Pekanbaru periode 2009-2014 dan terlapor lainnya yang terdiri dari Hj Laksmi Fitriana, Badria Rikasari selaku PPTK.

Kemudian Sekwan DPRD Pekanbaru Ahmad Yani, serta terlapor Wali Kota Firdaus ST, MT sebagai penanggungjawab anggaran, karena dinilai lalai menjalankan tugas dan fungsinya sebagai Kepala Daerah Kota Pekanbaru.

Kasus yang sama juga mengendap yang berhasil dihimpun seperti kasus korupsi pengadaan keramba di Dinas Perikanan dan Kelautan (Diskanlut) Riau tahun 2008 senilai Rp 8,9 miliar dengan melibatkan mantan Kadiskanlut Tengku Dahril yang belum diproses.

Padahal, Tengku Dahril disebut-sebut menyetujui Surat Perintah Membayar (SPM) meski pengerjaannya tidak selesai. Dalam kasus ini, tersangka yang sudah di sidang adalah Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) Doni Gatot Trenggono, Direktur PT Prima Bos Mobilindo, Kaldri Alam dan Kuasa Pengguna Perusahaan Irwansyah Lintas.

Penanganan korupsi penyertaan modal Pemkab Siak di PT Kawasan Industri Tanjung Buton (KITB) dengan kerugian negara Rp 26 miliar juga masih mengganjal, dengan tersangka Raden Fathan Kamil.

Padahal, tersangka lainnya, Syarifuddin yang merupakan mantan Direktur Utama PT KITB dan telah dinyatakan bersalah dan putusannya telah memiliki kekuatan hukum tetap.

Sejumlah deretan kasus diatas, merupakan cerminan penanganan kasus korupsi yang dilakukan pihak Kejaksaan Tinggi Riau yang dilakukan secara beragam.*** 


Komentar Via Facebook :

Berita Terkait