Surat Perpisahan untuk Presiden SBY

Abdullah Sammy

MEMANG banyak alasan untuk kita menyukai Joko Widodo (Jokowi). Alasan pertama tentu figurnya yang out of the box. Dia mendobrak kemapanan pejabat dan birokrat di Tanah Air.

Bila sebelumnya pemimpin erat dengan jalur birokratis dan tetek bengek protokoler, Jokowi jadi antitesisnya. Dia bukan pemimpin yang sulit untuk dijangkau. Sebaliknya, Jokowi justru yang datang menjumpai rakyat. Maka akhirnya dikenal istilah blusukan sebagai trade mark Jokowi.

Dengan faktor-faktor positif itu jadi masuk akal bila Jokowi akhirnya melenggang menjadi Presiden Indonesia. Seorang pengamat Boni Hargens bahkan lantang mengatakan bahwa Jokowi yang baru memimpin Jakarta selama setahun telah jauh lebih berhasil dari SBY yang memimpin Indonesia nyaris 10 tahun.

Ya, berbanding terbalik dengan Jokowi, SBY justru memiliki banyak alasan untuk tak mendapat simpati. Alasan pertama tentunya kasus korupsi yang seakan tumbuh subur di masa pemerintahannya. Tak tanggung-tanggung, menteri dan beberapa orang dekat SBY harus berurusan dengan KPK. Tak jarang dari mereka yang akhirnya harus masuk penjara.

Alasan lain 'membenci' SBY pun ada di Partai Demokrat. Partai pemenang pemilu 2009 itu tak hentinya didera kasus dan sengketa. Dari kasus korupsi hingga perpecahan internal yang akhirnya membuat rakyat antipati.

SBY juga dianggap sebagai pemimpin yang lemah, mementingkan citra, dan ragu-ragu. Sah-sah saja kemudian muncul penilaian positif untuk Jokowi dan negatif untuk SBY. Tapi saya tidak ingin berpikir dengan sudut pandang pengamat seperti Boni yang menilai SBY dari emosi pribadinya.

Mari kita menilai secara lebih fair terhadap dua sosok ini. Harus diakui, Jokowi memang merupakan pemimpin yang simpatik. Sosok Jokowi egaliter, hangat, dan merakyat.

Tapi pemimpin tak cukup egaliter. Pemimpin pun tak perlu selalu hangat dan menampilkan citra merakyat. Sebab, yang dicari dari pemimpin bukan popularitas tapi efektifitas.

Tapi, Jokowi sejatinya memang juga bukan dewa. Sebagai contoh nyata banjir masih menghantam Jakarta. Secara manajemen pun, Jokowi pun sempat diuji setelah pengadaan bus Transjakarta yang dilakukan di massa pemerintahannya bermasalah. Anak buahnya pun jadi tersangka.

Namun terlepas dari itu, Jokowi tetap mampu dapat simpati tinggi. Semua tak terlepas apresiasi media kepadanya. Segala persoalan negatif di pemerintahan Jokowi, diprespons secara positif oleh media.

Berbeda dengan Jokowi yang masih direspons positif, segala tindak tanduk SBY justru selalu dilihat dari kaca mata negatif oleh media. Sebagai contoh nyata bagaimana media mengkritik habis SBY yang lambat mengunjungi pengungsi Sinabung.

Di pihak lain, tak ada media yang mengkritik Jokowi saat bersepeda ria bareng eks juara dunia Moto GP Jorge Lorenzo pada Januari 2014. Padahal saat itu Jakarta sedang dihantam banjir besar yang membuat belasan orang meninggal dunia.

Terlepas dari kaca mata negatif media, memang SBY jauh dari kata sempurna. Tapi saya tak mau mengulangi kesalahan sejarah bangsa ini yang selalu mencaci ketika pemimpinnya turun tahta. Sebaliknya calon pemimpin baru justru dihujani sanjung puji. Bahkan kini disambut dengan pesta pora.

Saya ingin melihat dari kaca mata yang terbalik. SBY, terlepas dari sejumlah kekuarangannya, punya sederet prestasi yang harus kita akui. Prestasi utama SBY saya kira adalah kebebasan di alam demokrasi.

Tidak ada yang memungkiri jika keran kebebasan benar-benar terbuka di era SBY. Sehingga kita bisa menuliskan apa saja dan mengkritik siapa saja. Termasuk di dalam kesempatan ini. Bahkan perkataan Boni Hargens yang dikutip sejumlah media bahwa SBY tak ada berhasilnya, secara tak langsung memperlihatkan keberhasilan SBY sendiri!

Dalam hal pencegahan korupsi memang pemerintahan SBY bisa dibilang gagal. Sebab korupsi terus terjadi, bahkan menyeret orang di lingkaran pemerintahannya sendiri.

Namun dalam hal penaganagan korupsi ada sisi keberhasilan. Baru di era SBY ini ada menteri aktif yang tak kebal hukum. Sementara kita tahu bersama di pemerintahan sebelumnya, menteri baru dicokok KPK setelah lengser dari jabatan.

Nah, saya pun punya pandangan soal anggapan SBY yang lemah dan gemar pencitraan. Memang, semua citra tergantung alat dan angle dalam memotretnya.

Kalau SBY berkunjung ke daerah bisa dibilang pencitraan, kalau Jokowi bisa dibilang blusukan. Kalau SBY bilang dirinya jadi target teroris maka itu disebut lebay dan curhat. Sedangkan Jokowi yang berkata dirinya disadap disebut sebagai sebuah ancaman.

Ya, semua itu lagi-lagi tergantung cara media mempotret SBY dan Jokowi sehingga citra yang dihasilkan pun jadi berbeda.

Namun ada sisi lain yang ingin saya puji soal pemerintahan SBY, yakni kebijakan politik luar negeri Indonesia. Boleh dibilang, saat ini Indonesia memainkan peran sentral dan penting di perpolitikan dunia.

Indonesia pun kerap mengambil kebijakan berlawanan dengan kekuatan barat, seperti dalam kasus Palestina dan Iran. Namun hal utama yang ditakuti dunia di era

Dengan kekuatan militer yang jauh melonjak itu, Indonesia pun kini mampu lebih galak kepada negara lain. Insiden penyadapan Australia yang direspons dengan ditariknya dubes Indonesia jadi rujukannya. Bahkan pemerintahan SBY berani untuk mengosongkan pos perwakilannya di Canbera sebagai bentuk protes.

Sejumlah persepsi positif yang saya tulis untuk SBY ini bukan berarti untuk melupakan segala kekuarangannya. Sebaliknya, persepsi positif pada pemimpin yang akan turun jadi sangat penting bagi kesinambungan pemerintahan ke depan.

Karena sejatinya pemimpin baru tak harus merevisi seluruh kebijakan pemimpin terdahulu. Sebab, ada pula kebijakan yang telah berhasil dan patut diteruskan.

Ibarat lari estafet, jadi penting bagi penonton untuk menyemangati pelari yang akan menyerahkan tongkatnya ke pelari berikutnya. Ini agar tongkat yang sedari awal dipegang si pelari mampu berpindah tangan dengan mulus. Bukan justru jatuh dan membuat si pelari didiskualifikasi.

Sedangkan jadi penting bagi penonton untuk 'meneriaki' pelari yang baru menerima tongkat estafet agar bisa berlari lebih kencang menuju garis finish. Ini pula yang harus kita lakukan presiden ketujuh kita, Jokowi.

Justru akan lebih baik dan bermanfaat 'meneriaki' Jokowi yang akan bertahta agar dia mampu cepat berlari demi Indonesia. Bukan justru dia dipuja hingga terlena yang akhirnya membuatnya tertinggal dari pelari-pelari lain, dalam hal ini negara dunia.

Dalam kesempatan ini pula, saya pribadi ingin mengucapkan terima kasih kepada SBY atas darma baktinya. Lebih dan kurang, presiden keenam kita, telah memberikan sumbangsih pada bangsa dan negara.

Walau begitu, tak ada manusia yang sempurna. Pun halnya anda ataupun kami, insan media, yang selama ini tak lepas memberi kritik dan mungkin pernah menyakiti hati Presiden SBY dan keluarga. Karenanya izinkan kami mengucap kata maaf dan terima kasih.

Semoga Allah SWT membalas amal dan darma bakti bapak Presiden Indonesia keenam, Susilo Bambang Yudhoyono...


Tags :berita
Komentar Via Facebook :

Berita Terkait