Tak Mampu Usut Kasus Karhutla di Riau

LSM Tantang Polda Riau Lidik Sengketa Lahan Korporasi Vs Masyarakat

Foto Inset, Petugas Karlahut berjibaku memadamkan api kebakaran lahan, Presiden RI, Joko Widodo saat meninjau kebakran lahan, Ilustrasi SP3 Karlahut, dan Ketum IPSPK-3 RI, Ir Ganda Mora.

Pekanbaru, Oketimes.com - Buntut Surat Perintah Penghentian Perkara (SP3) kasus Kebakaran Lahan dan Hutan (Karlahut) pada tahun 2015 lalu yang sempat ditangani Polda Riau, terhadap 15 Perusahaan selaku pemegang HTI, HPH tampaknya bakal berbuntut panjang.

Pasalnya, kendati pihak Polda Riau tengah mengeluarkan SP3 kasus kebakaran lahan dan hutan terhadap 15 perusahaan korporasi di Riau. Namun kasus tersebut tidak serta merta berhenti dengan begitu saja. Akan tetapi, pihak Kepolisian bisa melakukan pengusutan atau pengembangan penyelidikan kearah alih fungsi hutan atau sengketa lahan antara masyarakat dengan pihak perusahaan korporasi.

Penegasan ini seperti diutarakan Ir Ganda Mora selaku Ketua Umum LSM Independen Pembawa Suara Pembrantasan Kolusi, Korupsi dan Kriminal Ekonomi (IPSPK-3) RI pada oketimes.com di Pekanbaru, Jumat 29 Juli 2016. Ia menyebutkan, Polda Riau melalui bidang Ditreskrimsus, semestinya lebih jeli menilik kasus yang menyangkut kasus Karhutla tersebut antara pihak perusahaan dengan masyarkat.

"Kita berharap Polda Riau, bisa menelusurinya dengan pengembangan penyelidikan yang terjadi antara perusahaan dengan masyarakat. Sebab permasalahn tersebut sudah sering terjadi selama ini di Riau," ulas Ganda Mora.

Dia mencontohkan seperti kasus alih fungsi dan sengketa lahan yang terjadi antara pemegang Hak Pengelolaan Hutan (HPH) PT Hutani Sola Lestari dengan masyarakat di Desa Giri Sako Kecamatan Tanah Darat Kabupaten Kuansing, Riau, seluas kurang lebih 5000 hektar. Dengan mengatasnamakan sebagai Kelompok Tani Giri Sako yang diketui oleh Sarkawi.

Lahan tersebut lanjut Ganda Mora, sebelumnya masih dalam penguasaan PT HSL, namun masyarakat mengklaim lahan tersebut dan membuka lahan itu menjadi lahan perkebunan sawit. Disiyalir pembukaan lahan tersebut, tidak sesuai dengan aturan dan ketentuan yang berlaku, atau dengan cara membakar lahan dan sebagainya.

Usut punya usut, belakangan lahan tersebut kini tengah dikusai masyarakat dengan membuka kebun kelapa sawit atau karet, yang disinyalir disponsori oleh pihak ketiga dari perusahaan lain yang dijadikan sebagai bapak angkat petani, menyerupai Kebun Plasma Pola KKPA.               

Menurut data LSM IPSPK3 RI, Kebun Sei Jernih (KSJ) yang bekerjasama dengan Koperasi Unit Desa (KUD) Soko Jati menguasai lahan seluas 1.500 hektare di Desa Giri Sako. Begitu juga dengan Ationg yang menguasai lahan seluas 900 hektare bekerjasama dengan KUD Soko Jati Pangean.

LSM IPSPK3 RI juga menemukan ada perkebunan milik Asiong seluas 700 hektare yang bekerjasama dengan KUD Soko Jati. Berdasarkan data tersebut, ujar Ketua LSM IPSPK3 RI, Ganda Mora KUD Soko yang diketuai Sarkawi menguasai sekitar 3.500 hektare hutan negara yang merupakan lahan HPH milik PT Hutani Sola Lestari.

"Umur kelapa sawit di atas lahan tersebut diperkirakan sudah mencapai delapan hingga sepuluh tahun," ucap Ganda.

Pembangunan perkebunan di atas kawasan hutan negara, menurut Ganda, merupakan tindakan perusakan pendudukan dan penguasaan yang bertentangan dengan Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Lingkungan Hidup. Alih fungsi hutan negara tersebut, kata Ganda, akan mengakibatkan kerugian dari sektor pajak.

"Kami sudah melaporkannya ke Mabes Polri dan Kementerian Kehutanan dengan harapan agar temuan di lapangan ditindaklanjuti," ucap Ganda.

Dilansir dari laporan jurnalnews.com, Ationg saat dikonfirmasi melalui telepon selulernya, baru-baru ini enggan menjawab persolan tersebut. Sedangkan Ketua Koperasi, Sarkawi membantah melakukan alih fungsi kawasan hutan di Desa Giri Sako.

Menurutnya, lahan tersebut milik ninik mamak, pemangku adat di wilayah tersebut. "Kami masyarakat tak mapu, sehingga mengundang investor dari luar untuk mengerjakan. Tak ada yang mengarah alih fungsi," ucap Sarkawi.

Lahan itu, merupakan tanah ulayat yang bertujuan untuk mensejahterakan kemenakan. Saat ditanyakan, apakah sudah ada peraturan yang menetapkan lahan di Desa Giri Sako merupakan tanah ulayat. Sarkawi menyatakan, mereka tak sampai ke situ.

Lahan yang diserahkan pemangku adat, ucapnya, sebenarnya ada sekitar 5.000 hektare, sedangkan yang dikelola masyarakat tak sampai seluas itu. "Masyarakat hanya sekitar 3.500 hektare," tutupnya.

Kembali ke Ganda Mora, menilik kasus yang terjadi antara PT Hutani Sola Lestari tersebut dengan masyarakat Desa Giri Sako. Permasalahan tersebut, tidak jauh beda dengan kasus yang terjadi di 15 perusahaan korporasi yang kini tengah dihentikan Polda Riau dalam kasus karhutla.

Oleh sebab itu sambung Ganda Mora, Polda Riau, bisa membuka kasus SP3 tersebut dengan kasus pengalihan status atau sengketa lahan milik perusahaan dengan masyarakat, dengan menjerat melalui UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Lingkungan Hidup.      

Sebagaiman diketahui Polda Riau tengah mengelurakan SP3 tehadapa 15 perusahan pembakar lahan di Riau, Adapun kelima belas perusahaan tersebut adalah PT Bina Duta Laksana (HTI), PT Ruas Utama Jaya (HTI), PT Perawang Sukses Perkasa Indonesia (HTI), PT Suntara Gajah Pati (HTI), PT Dexter Perkasa Industri (HTI), PT Siak Raya Timber (HTI), dan PT Sumatera Riang Lestari (HTI). Lalu, PT Bukit Raya Pelalawan (HTI), PT Hutani Sola Lestari, KUD Bina Jaya Langgam (HTI), PT Rimba Lazuardi (HTI), PT PAN United (HTI), PT Parawira (Perkebunan), PT Alam Sari Lestari (Perkebunan), dan PT Riau Jaya Utama.

"Semoga permasalahan tersebut dapat tuntas ditangani Polda Riau, agar masyarakat luas tidak kecewa dengan penanganan Karlahut di Riau," tanda Ganda Mora.***ars.


Tags :berita
Komentar Via Facebook :

Berita Terkait