Dua Tahun, Puluhan Ekor Gajah Sumatera Dibunuh
Ilustrasi, gajah sumatera.
Pekanbaru, Oketimes.com - Terhitung, selama tahun 2015, sebanyak 10 ekor gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus) di Propinsi Riau ditemukan mati. Jumlah kematian hewan yang dilindungi ini mengalami penurunan dibandingkan tahun 2014 lalu, dengan jumlah 24 ekor.
Ditahun 2015 ini, kasus kematian gajah Sumatera banyak ditemukan di kawasan konsesi Hutan Tanaman Industri (HTI) milik dua perusahaan besar, yakni di areal PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) dan areal milik PT Arara Abadi, anak perusahaan Sinar Mas Grub.
"Untuk tahun ini saja, ada 2 ekor gajah yang ditemukan mati di PT Arara Abadi dan 3 ekor lainnya diareal PT RAPP. Penyebabnya adalah karena ada perburuan gading dan konflik," ujar Humas Organisasi pecinta Satwa Langka World Wie Fund for Nature (WWF), Syamsidar, Rabu (30/12) siang.
Selain di area milik dua perusahaan besar itu, kata Syamsidar, ada juga kasus kematian gajah lainnya diarea hutan Taman Nasional Tesso Nillo (TNTN). Bahkan ada kematian dialami gajah yang dilatih oleh WWF.
Terkait ini, WWF meminta kepada dua perusahaan industri kayu (PT RAPP dan PT Arara Abadi) untuk lebih serius dalam melindungi satwa yang kini nyaris punah itu, Karena berdasarkan peraturan, bila perusahaan mendapatkan izin konsesi, ada kewajiban kepada perusahaan tersebut untuk melindungi sumberdaya alam hayati yang ada di arealnya konsesinya.
"Perusahaan memiliki kewajiban untuk melindungi flora dan fauna yang ada di wilayah konsesinya. Ini yang kita lihat perusahaan sepertinya lalai dalam melindungi satwa-satwa liar yang dilindungi tersebut," kata Syamsidar.
Menurutnya, sudah seharusnya perusahaan memonitoring ke beradaan gajah-gajah saat berada di konsesi HTI-nya. Apalagi didaerah yang terjadi konflik antara perusahaan dengan warga.
"Karena banyak kasus kematian gajah di area yang bersengketa antara warga dan perusahaan. Karena jika sudah memasuki wilayah konflik, kemungkinan gajah akan dibunuh sangat besar," kata Syamsidar.
Jika gajah akan memasuki wilayah konflik, Syamsidar berharap agar pihak perusahaan menggiring hewan bertubuh tambun itu ke areal yang lebih aman. Sebab, WWF mengklaim, jika mereka telah pernah melakukan penggiringan gajah-gajah liar itu jika memasuki daerah konflik.
"Ini mungkin merupakan salah satu faktor mengapa terjadi penurunan angka kematian gajah tahun ini, dibanding tahun 2014 lalu. Jadi kita minta perusahaan melakukan hal yang sama dengan WWF. Karena berdasarkan hasil pengamatan kita ada 75 persen gajah liar bertahan di area konsesi. Penyebabnya karena hutan lindung tempat habitat gajah di Riau sudah porak-poranda akibat pembalakan liar," jelasnya.
Syamsidar sangat menyayangkan, saat ini habitat gajah Sumatera di Riau sangat kritis. Jika tidak ada langkah-langkah serius dari pemilik kepentingan, gajah Sumatera yang merupakan spesies satu-satunya yang hidup di Indonesia dimungkinkan akan punah.
"Kehidupan gajah Sumatera di Riau sudah sangat terancam. Hampir setiap tahunnya ditemukan kematian gajah yang sebagian besar akibat ulah manusia. Dari tahun 2004 sampai tahun ini sudah 150 ekor gajah Sumatera yang mati akibat sengaja dibunuh. Kita yakin jika tidak ada langkah nyata penyelamatan gajah, ditahun 2016 dan tahun berikutnya kasus kematian gajah akan terjadi dan makin bertmabah," ketus Syamsidar.
Pun demikian, untuk tahun ini WWF mengaku sedikit lebih lega karena ada kasus kematian gajah yang berhasil diungkap. Dimana pada bulan Febuari, Polda Riau menangkap 7 orang tersangka pembantai gading gajah. Dari 7 orang pemburu itu, satu diantaranya adalah anggota Perbakin. Dari pengungkapan kasus ini polisi berhasil menyita 8 gading gajah.
"Pemburu gajah ini memiliki jaringan nasional maupun Internasional. Tingginya harga gading-gading gajah ini salah satu faktornya adalah pembantaian gajah terus terjadi. Saat ini kita perkirakan gajah yang tersisa di Riau sekitar 230 ekor dan sebagian besar bertahan hidup di taman nasional. Untuk itu kita berharap, mari selamatkan gajah yang tersisa," pungkasnya. (dabot)
Komentar Via Facebook :