Hujan Turun Harga Ikut Turun, Petani Karet Menjerit
Hujan Turun Harga Ikut Turun, Petani Karet Menjerit
SELATPANJANG, oketimes.com– Hampir sepanjang tahun 2014, petani karet Kabupaten Kepulauan Meranti menderita kerugian dikarenakan harga karet yang tidak stabil. Kisaran harga karet di Meranti dari Rp 4.500 per kilogram hingga Rp 6.000 per kilogram. Dipermulaan tahun 2015 ini petani karet makin menjerit, karena hujan yang hampir setiap hari mengguyur wilayah Meranti.
"Kemarin harga karet sempat jatuh hingga Rp 4.000 perkilo, hari ini sudah naik berkisar Rp 6000 perkilogram. Tapi bagi kami harga ini masih jauh rendah, karena di beberapa daerah lain di Riau, harga karet mereka masih stabil kisaran Rp 10.000 sampai 15.000 perkilonya. Kami petani karet rasanya menderita sekali dengan kondisi harga kareta saat ini," keluh Ridwan, petani karet pulau Merbau, ditemui riaueditor usai menyadap karet milik keluarganya.
Tingginya curah hujan akhir-akhir ini, menambah penderitaan Ridwan dan petani karet lainnya. Jika hujan turun deras sudah dipastikan mereka tidak akan bisa pergi menoreh. Ditambah lagi apabila mangkok getah terisi air hujan dan ranting atau dedaunan kayu yang jatuh sudah dipastikan, kualitas getah tersebut rusak, dan tidak bisa dijual.
Menurut penuturan Ridwan, ia tidak mengetahui persis penyebab naik turunnya harga karet di Meranti, apakah kebijakan ditentukan oleh pemerintah atau swasta, yang penting baginya, hasil torehannya bisa dijadikan uang.
"Biasanya yang bilang naik turun harga itu toke tempat kita jual ojol. Kalau kata toke harga karet lagi turun, ya turunlah. Kalau harga karet naik, alhamdulillah. Aturannya juga kita tak tau jelasnya, apakah ditentukan oleh pemerintah, atau swasta. Kalau bagi kami, yang penting ojol ini bisa laku terjual," terang Ridwan.
Nasib Ridwan lebih beruntung dibandingkan dengan nasib Madi, petani karet ini tidak memiliki kebun sendiri, ia menyadad karet milik orang lain. Hasil sadapan karet tersebut dibagi dua dengan pemilik lahan.
"Sudah nasib saya, belum punya kebun karet sendiri. Jadi hasil toreh karet bagi dua dengan yang punya kebun. Kalau harga masih tinggi, masih bisa makan. Tapi kalau rendah sampai empat ribu rupiah perkilo, bisa gak makan. Apalagi musim hujan begini, lebih baik gak usah noreh," keluh Madi yang juga berprofesi sebagai nelayan.
Menurut Madi, hasil karetnya ia jual kepada pengepul, yang biasanya harga memang ditetapkan oleh pengepul. Mau tak mau mereka harus menerima harga yang ditetapkan oleh pengepul tersebut, karena jumlah pengepul yang tidak banyak, selain itu mereka sudah terikat dengan piutang dengan tokeh.
"Biasanya uang hasil penjualan ojol langsung kita tukarkan dengan barang-barang sembako yang dijual di toko milik tokeh penampung ojol. Kalau harga jualan ojol tak mencukupi untuk beli sembako, kita berhutang dulu dengan tokeh, dan dibayar saat kita menjual ojol berikutnya," beber Mardi.
Diujung wawancara, Riduan berharap pemerintah bisa mengatur harga karet di Kabupaten Kepulauan Meranti yang selama ini diatur dan ditekan oleh para tokeh-tokeh penadah. Dengan adanya aturan yang resmi oleh pemerintah, sangat besar kemungkinan harga karet di Kabupaten Kepulauan Meranti bisa sama dengan daerah lain. (je)
Komentar Via Facebook :