Drama 130 Hektare di Siak: Tanah, Sawit, dan Surat Kadaluarsa

Desa Rawang Air, Siak, kembali menjadi panggung favorit untuk pertunjukan klasik berjudul “Tanahku, Tanahmu, Tanah Kita Semua.” Kali ini, naskahnya diperankan oleh Kelompok Tani Nitan di bawah komando Suparmin dan seorang tokoh lama bernama Antony, yang muncul dengan Surat Hak Pakai (SHP) dari tahun 1970—sebuah dokumen yang lebih tua dari sebagian besar pemain di lapangan.

Siak, Oketimes.com - Desa Rawang Air, Siak, kembali menjadi panggung favorit untuk pertunjukan klasik berjudul “Tanahku, Tanahmu, Tanah Kita Semua.” Kali ini, naskahnya diperankan oleh Kelompok Tani Nitan di bawah komando Suparmin dan seorang tokoh lama bernama Antony, yang muncul dengan Surat Hak Pakai (SHP) dari tahun 1970—sebuah dokumen yang lebih tua dari sebagian besar pemain di lapangan.

Konon, SHP itu sudah kadaluarsa, tapi di negeri di mana surat-surat bisa hidup lebih lama dari harapan, hal itu tampaknya bukan masalah besar. Ketua pemuda setempat, Rasyd, menyebut lahan yang kini disengketakan telah ditanami kelapa sawit selama puluhan tahun, lengkap dengan jalan, rumah, dan gubuk—semacam paket “desa mandiri” sebelum program resminya lahir.

Namun dua tahun terakhir, suasana menjadi panas. Antony dikabarkan menguasai 300 hektare lahan, termasuk 130 hektare milik masyarakat. “Beliau datang bawa puluhan orang untuk panen sawit kami. Katanya punya SHP, tapi kami juga punya cangkul,” ujar Rasyd kepada media pada Kamis (30/10/2025) yang tampak heran bukan karena lahan diambil, tapi karena pihak berwenang tampaknya punya selera pilih kasih.

Setiap kali terjadi konflik, kata Rasyd, Polres Siak meminta masyarakat keluar dari lahan demi “perundingan damai,” sementara pihak Antony bebas memanen. “Kami heran, ada apa dengan Kapolsek Menpura? Terkesan berat sebelah. Kami akan bawa ini ke Polda atau mungkin sekalian ke sinetron prime time,” sindirnya.

Dalam penjelasan panjang nan rumit, Rasyd juga menyebut SHP Antony berasal dari era PT Tridaya tahun 1973, dilelang oleh Bank BNI, lalu jatuh ke tangan PT Datin Agung, dan akhirnya berlabuh di tangan Antony. Kisah epik yang lebih berliku dari drama keluarga di televisi.

Di sisi lain, Kapolsek Siak, Kompol James Sibarani, menegaskan bahwa polisi hanya bertugas menjaga keamanan agar tidak terjadi bentrokan. “Konflik ini sudah ada sebelum saya menjabat. Kami hanya memastikan semua tetap aman,” ujarnya dengan nada diplomatis khas perwira.

Menurut Kapolsek, persepsi masyarakat tentang keberpihakan adalah hak masing-masing. Polisi, katanya, tetap di tengah. Entah tengah-tengah mana, masyarakat masih mencoba mencari garisnya.

Sementara itu, warga berharap hukum benar-benar ditegakkan dan konflik diselesaikan secara transparan. Tapi hingga kini, buah sawit terus dipanen, masyarakat terus menunggu, dan SHP tahun 1970 itu—seperti legenda urban—masih terus hidup di bumi Melayu.***


Komentar Via Facebook :

Berita Terkait