Anugerah Ingatan Budi untuk Sang Kapolri: Kala Polisi Diangkat Menjadi Pahlawan Budaya

Lembaga Adat Melayu Riau (LAMR) menganugerahkan Anugerah Adat Ingatan Budi kepada Kepala Kepolisian Republik Indonesia, Jenderal Listyo Sigit Prabowo pada Sabtu, 12 Juli 2025 di Gedung LAM Riau Jalan Diponegoro Kota Pekanbaru.

PEKANBARU, Oketimes.com — Di tengah peliknya relasi antara rakyat dan aparat, ternyata masih ada ruang untuk puji-pujian nan manis. Lembaga Adat Melayu Riau (LAMR), dalam upacara penuh khidmat dan bahasa yang dipoles dengan sutra kebudayaan, menganugerahkan "Anugerah Adat Ingatan Budi" kepada Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo. Alasannya? Karena beliau disebut telah “bertanam budi” di Tanah Melayu. Ya, Anda tidak salah baca—bertanam budi.

Acara yang digelar Sabtu (12/7/2025) ini dipenuhi retorika adat dan kalimat puitis yang lebih cocok untuk pujangga ketimbang laporan kinerja. Datuk Seri Syaukani Al-Karim, seniman dan Ketua DPH LAMR Kabupaten Bengkalis, menyebut Kapolri sebagai teladan dalam penghormatan, keadilan, dan pengabdian. Sebuah penghormatan yang begitu tinggi, sampai-sampai rakyat awam pun mungkin bertanya-tanya: “Kapolri yang mana, ya?”

Disebutkan lima alasan utama penghargaan tersebut. Pertama, katanya, institusi Polri kini lebih 'inklusif dan egaliter'. Polisi kita—yang kerap diberitakan tegas hanya kepada pedagang kaki lima dan demonstran mahasiswa—disebut telah ramah, humanis, dan cepat tanggap. Bahkan, masyarakat kini 'konon' benar-benar merasa aman berkat polisi. Mungkin itu sebabnya, kritik masyarakat pun kian tenggelam—bukan karena takut, tentu, tapi karena terlalu terharu.

Alasan kedua, sang Jenderal disebut menegakkan hukum bukan hanya ke luar, tapi juga ke dalam. "Pisau hukum menghunjam ke tubuh sendiri," katanya. Sayangnya, masyarakat tak sempat melihat adegan itu secara langsung. Barangkali karena tayangannya tersembunyi di balik layar-layar konferensi pers.

Alasan ketiga dan keempat membawa kita menyelami peran Kapolri dalam penanggulangan karhutla dan deradikalisasi. Berkat beliau, katanya, Riau terbebas dari asap dan ribuan Napiter kembali ke pangkuan ibu pertiwi. Sebuah prestasi yang terdengar heroik—meski realita di lapangan kerap berkabut, sama seperti langit Riau di musim kemarau.

Alasan kelima menyoroti betapa dekatnya polisi dengan Lembaga Adat. Bukan hanya dekat secara fisik, tapi juga spiritual: dari semboyan adat hingga aplikasi strategis, semua dirangkai dengan sentuhan budaya. Ada “Dashboard Lancang Kuning”, semboyan “Together We Strong”, hingga “Melindungi Tuah Menjaga Marwah”—frasa yang terdengar seperti tagline sinetron epik Melayu.

Tak ketinggalan, Datuk Seri Syaukani pun menyanjung inovasi teknologi ala Kapolri: e-Tilang, SIM online, dan entah berapa lagi sistem daring yang... sayangnya, masih membuat warga harus datang ke kantor polisi.

Dan karena semua itu, LAMR pun “dengan takzim” menyematkan penghargaan adat paling bergengsi. Sebuah penghormatan dari lembaga budaya kepada kepala institusi negara, yang barangkali di mata rakyat masih belum selesai berdamai dengan catatan masa lalu—dari kasus hukum yang mengambang, laporan warga yang menguap, hingga pengamanan yang kadang terasa tak seimbang.

Namun begitulah: "Ketika adat dan kuasa bersalaman, rakyat cukup jadi penonton yang sopan—kalau bisa, jangan banyak bertanya". Sebab bertanya bisa dianggap tak santun. Apalagi jika yang ditanya sedang menerima anugerah suci: “Ingatan Budi.”

Ah, mungkin inilah budi yang dimaksud dalam pepatah Melayu: "Budi yang baik dikenang jua." Tapi, jangan lupa—budi yang setengah-setengah, juga sulit dilupakan.***


Komentar Via Facebook :

Berita Terkait