Soroti Kebun Sawit di Tepi Sungai, Aktivis Salamba Minta Pemerintah Mesti Tegas

Ketum Yayasan Sahabat Alam Rimba (SALAMBA) Ir Marganda Simamora SH M.Si,

Pekanbaru, Oketimes.com - Aktivis Sahabat Alam Rimba (Salamba) menyatakan, jika merujuk pada regulasi, yaitu Peraturan Menteri (Permen) PUPR 28 Tahun 2015 dan Peraturan Pemerintah (PP) 38 Tahun 2011, harusnya tidak ada perkebunan yang menempel di sempadan sungai.

"Kebun sawit kini banyak tumbuh di lokasi rawa gambut tepatnya di sempadan sungai yang tidak lestari dan merusak lingkungan. Masih ada sempadan atau bantaran sungai yang ditutupi oleh perkebunan sawit, terutama di sekitar sungai yang ada di Riau ini. Artinya itu dilarang," kata Ketum Yayasan Sahabat Alam Rimba (SALAMBA) Ir Marganda Simamora SH M.Si, kepada media dalam keterangannya, Senin, 24, Juni 2024 di Pekanbaru.

Dia menambahkan kalau hal itu tak dipungkiri cepat atau lambat akan berdampak terhadap kondisi sungai, terutama di Riau ini. Lantas tak merasa khawatir, karena Bidang Perekonomian, SDA, insfrastruktur dan kewilayahan pada Beppeda dan Litbang Riau terkait hal itu tetap ada pengawasan, pasti itu dilakukan oleh Pemerintah Daerah melalui instansi terkaitnya. Namun dalam hal penindakan, menurutnya sepertinya masih belum dilakukan.

"Nah, itu yang menindak itu siapa? Tentunya perlu adanya sinergi dan kerja di lintas sektor. Karena yang punya kewenangan menindak ada tersendiri. Itu juga yang masih menjadi PR (pekerjaan rumah) bagi kita untuk menentukan. Seperti apa prosedur dan lainnya," kata Ganda.

Menurutnya, pemerintah daerah bukan kurang tegas terhadap pelaku perkebunan. Baik itu dilakukan oleh perorangan ataupun oleh pihak pengusaha perkebunan sawit. Diakuinya, hal tersebut (sawit di sepadan sungai), tidak dibenarkan didalam undang undang lingkungan.

"Apabila sudah ditanam, maka secara bertahap harus dirubah, jika perusahan yang menanam maka juga bertanggung jawab dengan kondisi itu. Harus ada komitmen, memang dari sisi perencanaan, jika itu kondisinya maka secara bertahap harus dikembalikan kondisinya," imbuhnya.

Menurutnya, pemerintah sendiri, telah mengatur terkait dengan aturan-aturan pembukaan perkebunan. Termasuk jarak antara areal kebun yang boleh ditanam dengan sepadan sungai.

Para aktivis lingkungan bersama para pencinta alam, terus memberikan perhatian khusus terhadap kondisi sungai-sungai yang ada di Riau, khususnya di sempadan atau bantaran sungai yang saat ini telah ditanami kelapa sawit.

Masih adanya sempadan atau bantaran sungai yang ditutupi oleh perkebunan sawit, bagi warga Desa Bumi Mulya, Kecamatan Logas Tanah Darat, Kabupaten Kuantan-Singingi (Kuansing), yang terutama tinggal di aliran Sungai Teso (Anak Sungai Kampar), meminta kepada aparat terkait agar menertibkan tanaman sawit disepanjang aliran sungai yang diduga milik PT Citra Riau Sarana (CRS).

"Akibat sawit yang berjajar ditepian sungai itu membuat warga disini menderita," kata Herman (35) warga Desa Bumi Mulya dalam pengakuannya ini.

"Tanaman sawit milik perusahaan itu di sekitar daerah aliran sungai, menimbulkan banyak sekali kerugian lingkungan bagi warga setempat. Salah satu kerugian yang timbul adalah soal tata air yang rusak," sebutnya.

Herman tak menampik, kalau hujan turun terus menerus membuat akses jalan digenangi air, yang dalamnya hingga sepinggang manusia dewasa.

"Warga disini kebanyakan petani, tidak akan bisa melakukan kegiatan berkebun karena genangan air yang dalam itu," sebutnya.

"Kami tidak sanggup menyelam untuk melewati akses jalan. Airnya sampai ke pinggang, bagaimana kita mau memupuk atau memanen sawit," ujar Herman.

Sejauh ini pihak PT CRS belum memberikan penjelasan soal tudingan warga tumbuhan sawitnya berada ditepi sungai teso.

Tetapi memang diakui kelapa sawit yang ditanam dekat sungai itu sangat subur karena menyerap air.

Sawit suka air, dia bukan menyimpan tapi menyerap. Sekarang apa yang terjadi di daerah ini ketika musim hujan kerap terjadi banjir dan di saat kemarau kering kerontang.

Sementara itu, Anggota Komisi II DPRD Kabupaten Pelalawan, Baharuddin SH yang menekankan, pihak perusahaan wajib menghijaukan Daerah Aliran Sungai (DAS). Kalau tidak dilakukan penghijauan akibatnya memengaruhi RSPO ada yang wajib ditaati.

Jadi menurutnya, pelarangan menanam sawit atau tumbuh-tumbuhan yang menyerap air di daerah bufferzone sesuai dengan sempadan sungai sudah diatur dalam PP tersebut yakni 100 meter untuk sungai besar dan 50 meter untuk sungai kecil.

Kembali disebutkan Ganda Mora yang mengakui ada beberapa kawasan sesuai ketentuan terkait sungai. Yakni kawasan perkotaan, kawasan permukiman, dan non permukiman.

"Kalau non permukiman panjangnya tetap sesuai sungai besar atau lebar 100 meter, 50 meter dan 25 meter itu harus diberlakukan. Kemudian juga disesuaikan dengan kedalaman sungai, saya kurang hapal," sebutnya.

"Jika sungai besar, untuk non permukiman jaraknya 100 meter, sementara untuk permukiman, perkotaan dan perdesaan, tergantung.Jika bertanggul jaraknya 3 meter, kalau tidak bertanggul maka kembali dilihat kedalamannya," tukasnya.

Itu sudah ada rumusannya, dan itu disesuaikan. Pastinya jika wilayah permukiman dan tidak bertanggul, itu tergantung kedalaman, ada yang 10 meter, 15 meter dan 30 meter. Pastinya tidak dibenarkan jika pohonnya langsung menjuntai ke sungai," pungkasnya.

Masih ada sempadan atau bantaran sungai yang ditutupi oleh perkebunan sawit, menurutnya dapat merugikan daerah, provinsi, negara maupun di mata international.

"Nanti dinilai pihak international tidak lestari, merusak gambut, diduga adanya pelanggaran HAM, serta produksi jadi melimpah," kata Ganda.

Dengan aksi penanaman tersebut, kata Ganda dapat dinilai mendukung keberadaan perkebunan sawit Indonesia. Seharusnya, Presiden Jokowi melakukan konversi perkebunan sawit rakyat dengan tanaman yang lebih lestari seperti kakao.

"Dengan memproduksi terbatas atau tidak melimpah, dari perkebunan yang lestari dan bebas persoalan, justru akan meningkatkan harga jual sawit dari Indonesia," ucapnya menambahkan saat ini pemerintah tengah berupaya melakukan restorasi lahan gambut dan menjaga hutan yang tersisa.

Jadi pemerintah juga mendukung upaya moratorium hutan primer dan lahan gambut yang sudah berjalan enam tahun dan terus mendorong perbaikan persoalan perkebunan sawit ini untuk menuntaskannya.

"Daerah Aliran sungai (DAS) harus dilestarikan dan tetap di tumbuhi hutan minimal 100-500 meter untuk menjaga kestabilan dan kesibangan air, agar daya tampung terhadap zat pencemar tinggi dimana hutan atau kayu berfungsi sebagai tata kelola air tetap terjaga dan sepcies flora dan fauna tetap lestari serta melestarikan tumbuhan dan hewan endemik," katanya.

Menurutnya, pelestarian Aliran Daerah Sungai juga berfungsi untuk menyimpan air sehingga pada waktu hujan tidak menyebabkan banjir di hilir yang mengakibatkan bencana alam.

"Kami dari Yayasan Sahabat Alam Rimba (SALAMBA) menyampaikan bila ada penggundulan DAS maka agar segera di tertibkan dan diproses secara hukum oleh APH, aliran sungai harus tetap terjaga dan dilestarikan," pintanya.***


Komentar Via Facebook :

Berita Terkait