Nasib Buruh di Persimpangan Jalan

Foto: ist.

MENURUT data Badan Pusat Statistik yang menghitung Low Pay Rate (LPR) untuk mengukur seberapa banyak buruh yang bekerja dengan gaji yang rendah atau tidak layak, menunjukan bahwa pada tahun 2022 sebesar 29,11% buruh menerima gaji rendah. Dibandingkan pada tahun 2021 sebanyak 27,67%. Angka persentase tersebut mengindikasikan bahwa terjadi penurunan proporsi buruh yang menerima upah layak dari tahun 2021 ke 2022. 

Salah satu indikator kesejahteraan pekerja buruh adalah gaji yang diterimanya. Sedangkan, Indonesia saat ini masih stagnan dengan upah minimum yang sangat rendah. Data indikator rata-rata upah minimum hanya mencapai di bawah Rp 3 juta. Kurang dari setengah persen provinsi di Indonesia yang memiliki upah minimum di atas Rp 3 juta.

Dengan rendahnya upah minimum pekerja buruh ini akan sangat menguntungkan pihak korporat yang dapat memangkas biaya produksi. Dengan keuntungan tersebut, potensi korporat untuk mengeksploitasi pekerja akan sangat tinggi. Terlihat dari sisi gaji pekerja yang tidak sesuai dengan lamanya buruh bekerja dan tidak adanya jaminan keselamatan kerja. Sehingga dibutuhkan bantuan dari pemerintah untuk mengatur regulasi khususnya kepada para pengusaha.

Namun, sangat disayangkan ketika pemerintah justru malah membantu pihak investor dalam hal perizinan dan beberapa peraturan lainnya. Salah satu contohnya, masalah cuti yang disebutkan dalam Pasal 79 ayat 2 poin b juga dianggap bermasalah. Karena alasan tertulis, satu hari istirahat mingguan diperlukan untuk enam hari kerja dalam satu minggu. Selain itu, ayat lima dari RUU juga menghapus cuti dua bulan dan enam tahun.  Perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama akan mengatur cuti panjang. 

Pasal 42 RUU ini juga dianggap bermasalah. Ini karena pasal tersebut dianggap akan memudahkan izin untuk merekrut tenaga kerja asing. 

Berangkat dari permasalahan dan pertimbangan di atas, penulis ingin mencari dan menganalisis seberapa besar dampak yang dihasilkan dari proses pembentukan UU Cipta Kerja ini kepada investor hingga pekerja buruh dari masyarakat yang terlibat. Oleh karena itu, untuk melihat relasi antar regulasi yang berjalan dengan stakeholders yang berperan, dalam upaya mengetahui bagaimana persepsi masyarakat terhadap Undang-Undang Cipta Kerja dan kesejahteraan buruh di media sosial X serta bagaimana regulasi pemerintah mempengaruhi kesejahteraan  pekerja. 

Bagaimana penelitian dilakukan?

Penelitian dengan pendekatan big data analysis yang meneliti sentimen masyarakat mengenai kebijakan pemerintah tentang UU Cipta Kerja menjadi salah satu tolak ukur bahwa pemerintah belum cukup berhasil memenuhi hak pekerja buruh melalui penetapan kebijakan dan regulasi. 

Masyarakat merasa bahwa pemerintah belum cukup menjadi wakil rakyat sehingga para pekerja buruh masih perlu mencari keadilan atas hak-hak yang seharusnya didapatkan. 

Berbagai kebijakan seperti omnibus law, penetapan UU Cipta Kerja, rapat paripurna DPR yang membahas pengambilan keputusan atas RUU Perppu Cipta Kerja, belum cukup memuaskan dan meyakinkan masyarakat tentang terjaminnya hak pekerja buruh. 

Proses pengambilan data diawali dengan  crawling data pada twitter dengan terlebih dahulu mendeklarasikan kata kunci yang menjadi syarat suatu cuitan terambil. Terdapat 51.247 cuitan yang terambil dari proses crawling data. Crawling data penelitian dihimpun dari November 2020 hingga Maret tahun 2023

Sebuah Pendekatan Ekonomi Politik - Teori Oligarki dan Neoliberalisme dalam Isu Ketidakpemenuhan Hak Buruh

Penelitian ini menggunakan perspektif politik ekonomi dan beberapa teori turunan yang berguna sebagai alat analisis permasalahan mengenai bagaimana regulasi pemerintah yaitu UU Cipta Kerja mampu mempengaruhi kesejahteraan buruh. 

Perspektif politik ekonomi menurut Wingast dan Wittman dalam The Oxford Handbook of Political Economy menjelaskan frasa politik ekonomi memiliki makna yang beragam. mereka menjelaskan bahwa pada sebagian besar abad ke 20, istilah politik ekonomi memiliki arti yang kontradiktif. 

Pada satu sisi, politik ekonomi sering dipandang sebagai suatu bidang studi mengenai hubungan timbal balik antara ekonomi dan politik. Sementara pada sisi lainnya, politik ekonomi dipandang sebagai pendekatan metodologis yang terbagi menjadi dua yaitu pendekatan ekonomi yang menekankan pada rasionalitas individu (atau sering disebut public choice), dan pendekatan sosiologis yang cenderung institusional. 

"Oleh karena itu, pendekatan ini bukanlah pendekatan yang tunggal dan terpadu, namun merupakan serangkaian pendekatan (Weingast & Wittman, 2008)."

Kemudian dalam The Palgrave Handbook of the Political Economy karya Ivano Cardinale dan Roberto Scazzieri menjelaskan bahwa hubungan antara ekonomi dan politik berakar pada dimensi kolektif dalam penyediaan dan pemanfaatan sumber daya material. Dimensi kolektif ini mengandaikan koordinasi tindakan manusia seperti yang dilakukan oleh pembagian kerja, yang pada gilirannya memerlukan pengaturan organisasi dan struktur tata kelola yang berlapis-lapis.

Selanjutnya artikel ini akan menggunakan dua teori, untuk menjelaskan bagaimana regulasi pemerintah (Undang-undang Cipta Kerja) mampu mempengaruhi kesejahteraan pekerja. Penelitian ini akan menggunakan teori oligarki untuk menjelaskan hipotesis bahwa terjadi hubungan bisnis dan politik yang memiliki pengaruh besar terhadap terbentuknya undang-undang cipta kerja dan pada akhirnya berdampak pada kesejahteraan pekerja. 

Dalam menjelaskan teori oligarki, tulisan ini akan mendasarkan pada pemikiran dua ilmuwan politik yang secara khusus meneliti fenomena oligarki di Indonesia.
 
Pertama, Vedi R, Hadiz dan Richard Robison dalam The Political Economy of Oligarchy and the Reorganization of Power in Indonesia mendefinisikan oligarki sebagai sistem hubungan kekuasaan yang memungkinkan terjadinya konsentrasi kekayaan dan otoritas serta pertahanan kolektifnya (Robison & Hadiz, 2004). 

Sedangkan Jeffrey A. Winters dalam bukunya Oligarchy mendefinisikan oligarki sebagai sebuah politik pertahanan kekayaan yang dilakukan oleh aktor-aktor yang memiliki kekayaan materi (Winters, 2011). 

Dari kedua ilmuwan politik tersebut, terdapat sebuah perbedaan yang dapat kita temukan. Merujuk pada Michele Ford dan Thomas B. Pepinsky dalam Beyond Oligarchy: "Wealth, Power and Contemporary Indonesian Politics, Winters lebih melihat oligarki" sebagai aktor atau individu, sedangkan Hadiz dan Robison melihat oligarki sebagai sebuah sistem hubungan kekuasaan secara kolektif (Ford & Pepinsky, 2014). 

Setelah dijabarkan mengenai konsep oligarki, muncul pertanyaan mengenai bagaimana oligarki sebagai perwujudan hubungan bisnis dan politik mampu untuk mempengaruhi kebijakan di Indonesia? 

Derwin Tambunan dalam The Intervention of Oligarchy in the Indonesian Legislative Process menjabarkan terdapat empat mekanisme mengenai strategi kartel oligarki dalam proses legislasi yaitu Orders from party oligarchs to the factions in the parliament, Political lobbying, Collusion among party elites, dan Collusion between party and state (Tambunan, 2023).

Kemudian, teori yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah teori neoliberalisme yang akan digunakan untuk menganalisis regulasi investasi dalam mempengaruhi upah dan waktu buruh. 

Teori ini juga akan menjelaskan hipotesis dalam penelitian ini bahwa terdapat pengaruh neoliberalisme pada kebijakan investasi yang mempengaruhi fenomena ketidaksesuaian antara waktu kerja buruh dengan upah yang diterima. 

Pada tulisan ini, teori neoliberalisme akan dijelaskan berdasarkan dengan teorisasi yang dibangung oleh David Harvey dalam bukunya A Brief History of Neoliberalism.

Pada bukunya, Harvey menjelaskan bahwa neoliberalisme telah memainkan peran sentral dalam proses ekonomi baru menuju perkembangan ekonomi laissez faire dan dikombinasikan dengan filsafat liberalis murni. Negara adalah fasilitator pasar bebas dan melindungi hak milik pribadi, menurut Harvey. Pada saat yang sama, negara, alih-alih menjadi fasilitator atau bertindak sebagai mekanisme penyeimbang, negara hanya bertindak atas nama kelompok masyarakat tertentu, khususnya kelas kapitalis. 

Harvey mengklaim bahwa neoliberalisme membawa kehancuran kreatif dan telah membentuk pembagian kerja, hubungan sosial, penyediaan kesejahteraan, perpaduan teknologi, serta cara hidup dan pemikiran saat ini. 

Neoliberalisme mempunyai dampak sosial yang merugikan terhadap masyarakat selain dari sekedar dampak ekonomi. Makna konsep-konsep seperti kebebasan, demokrasi, dan hak asasi manusia juga mengalami perubahan negatif. Konsep-konsep ini diberikan kepada masyarakat sebagai bagian dari kesepakatan pasar bebas (Harvey, 2005).

Dengan memahami teorisasi neoliberalisme Harvey, muncul sebuah pertanyaan mengenai bagaimana neoliberalisme justru memperkuat pasar dan menciptakan kerugian bagi masyarakat terutama buruh mengenai upah dan waktu kerja? 

Manfred B. Steger dan Ravi K. Roy dalam Neoliberalism: A Very Short Introduction menjelaskan bahwa cara terbaik untuk mengkonseptualisasikan neoliberalisme adalah dengan menganggapnya sebagai tiga manifestasi yang saling terkait, yaitu sebagai sebuah ideologi, sebagai cara pemerintahan (Governmentalities), dan sebagai paket kebijakan (Public Policy). 

Pertama, sebagai sebuah ideologi atau sistem ide, Para pendukung neoliberalisme tidak hanya menawarkan gambaran yang kurang lebih sesuai tentang dunia sebagaimana adanya, namun juga menawarkan sebuah idealita mengenai bagaimana seharusnya dunia bekerja. 

Dalam melakukan hal ini, ideologi mengatur gagasan inti mereka dan menjadi klaim kebenaran sederhana yang mendorong orang untuk bertindak dengan cara tertentu. 

Dimensi kedua dari neoliberalisme merujuk pada pemikiran dari Michel Foucault yaitu governmentalities, yaitu sebuah model pemerintahan tertentu berdasarkan premis, logika, dan hubungan kekuasaan tertentu. 

Model pemerintahan neoliberal mendorong transformasi mentalitas birokrasi menjadi identitas kewirausahaan dimana pegawai pemerintah tidak lagi melihat dirinya sebagai pegawai negeri dan penjaga barang publik yang didefinisikan secara kualitatif, namun sebagai aktor yang mementingkan diri sendiri dan bertanggung jawab terhadap pasar dan berkontribusi terhadap keberhasilan moneter. 

Dimensi ketiga adalah neoliberalisme sebagai seperangkat kebijakan publik (public policy) yang nyata dan ditunjukan dalam apa yang disebut sebagai formula D-L-P. Pertama yaitu deregulasi (perekonomian), kedua yaitu liberalisasi (perdagangan dan industri), dan ketiga adalah privatisasi (badan usaha milik negara) (Steger & Roy, 2021). 

PENUTUP
Kesejahteraan buruh adalah harapan lama yang hingga sekarang masih belum terpenuhi. Ditelisik kebelakang, sejarah kemunculan buruh telah dimulai di masa Hindia Belanda. Buruh dipekerjakan tanpa memperhatikan aspek kesejahteraan, tidak memperoleh upah dan dituntut pada target pekerjaan yang tiada habisnya. 

Namun, praktik tersebut nampaknya tidak kemudian hilang bersamaan dengan kemerdekaan Indonesia sejak 78 tahun lalu. Sekalipun buruh tidak mengalami perbudakan paksa, tapi kehidupan buruh masih begitu jauh dari kata sejahtera dilihat dari upah dan waktu bekerja. Lalu, semakin diperparah dengan seketika menjadi tersistem melalui penerbitan regulasi. 

Praktik ataupun kondisi inilah yang peneliti nilai sebagai perbudakan era modern atau modern slavery. Pada Oktober 2020, Undang-Undang Cipta Kerja disahkan dengan segala bentuk penolakan masyarakat karena dinilai syarat akan kepentingan pemerintah dan penguasa. 

Penolakan tak henti-hentinya dilakukan dengan mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi, keputusan mengeluarkan fatwa bahwa UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat dengan catatan pemerintah harus melakukan perbaikan dalam rentang 2 tahun. 

Namun, putusan yang ada ditindaklanjuti oleh pemerintah dengan mengeluarkan Perppu pengganti UU Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja yang kemudian disahkan oleh DPR menjadi UU Nomor 6 Tahun 2023 Tentang Cipta Kerja.

Berdasarkan analisis Big Data dilengkapi dengan literature review yang telah dilakukan peneliti, diperoleh kesimpulan dalam rangka memenuhi tujuan penelitian. Masyarakat Indonesia pengguna Twitter cenderung telah peduli dan sadar akan ketidak pemenuhan hak pekerja buruh yang terjadi di Indonesia. 

Cuitan yang masuk dalam sample penelitian kami mayoritas menunjukkan sentimen negatif mengenai dampak regulasi masyarakat terhadap ketidak pemenuhan hak pekerja buruh. Akun yang berpengaruh besar dimiliki oleh pribadi perseorangan, komunitas, serta channel berita. 

Mayoritas, cuitan mengenai topik ini muncul dan ramai pada rentang waktu setelah adanya penetapan regulasi pemerintah, seperti penyetujuan RUU Cipta Kerja oleh DPR, pengesahan Perppu Nomor 2 Tahun 2022 menjadi UU Nomor 6 tahun 2023 tentang Cipta Kerja, dan rapat paripurna DPR berisi pengambilan keputusan atas RUU perppu Cipta Kerja. 

Melalui pendekatan ekonomi politik, objek kajian memperhatikan hubungan yang sifatnya cenderung individu dengan pendekatan yang lebih institusional. 

Selain itu, peneliti menggunakan teori oligarki dalam rangka menjelaskan hipotesis bahwa terjadi hubungan bisnis dan politik yang memiliki pengaruh besar terhadap terbentuknya Ciptaker yang pada akhirnya berdampak pada kesejahteraan pekerja. 

Kemudian, digunakan teori neoliberalisme untuk membantu menjelaskan bagaimana pengaruh neoliberalisme pada kebijakan investasi yang mempengaruhi fenomena ketidaksesuaian antara waktu kerja buruh dengan upah yang diterima.

Penulis : 
1. Angela Kirana Hartanto
2. Aulia Khoiria
3. Bijak Anugerah
4. Salsabila Khoirun’nisa


Komentar Via Facebook :

Berita Terkait