KPK Ungkap Gubernur Riau Abdul Wahid Minta Uang Pemerasan Rp7 Miliar untuk Lawatan ke Luar Negeri

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) resmi menetapkan Gubernur Riau Abdul Wahid sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi fee proyek di Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang, Perumahan, Kawasan Permukiman, dan Pertanahan (PUPR-PKPP) Provinsi Riau. Abdul Wahid diduga menerima Rp4,05 miliar dari total Rp7 miliar fee proyek yang disepakati. Selain dirinya, KPK juga menetapkan dua tersangka lain, yakni Kepala Dinas PUPR-PKPP Riau Muhammad Arief Setiawan dan Tenaga Ahli Gubernur Dani M. Nursalam. Ketiganya diduga terlibat dalam praktik pengaturan anggaran dan penerimaan fee proyek sebagai kompensasi atas pelaksanaan pekerjaan yang dikelola Dinas PUPR. Penetapan tersangka diumumkan secara resmi oleh KPK dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih, Kuningan, Jakarta Selatan, Rabu (5/11/2025).

JAKARTA, Oketimes.com — Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkap Gubernur Riau Abdul Wahid diduga meminta uang pemerasan hingga Rp7 miliar dari proyek di lingkungan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Riau. Sebagian dana tersebut digunakan untuk perjalanan ke luar negeri.

Pelaksana tugas (Plt) Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, menjelaskan bahwa uang hasil pemerasan itu berkaitan dengan tambahan anggaran Provinsi Riau tahun 2025. Dari total tambahan anggaran sebesar Rp177,5 miliar, Abdul Wahid disebut meminta jatah Rp7 miliar.

“Ada beberapa keperluan ke luar negeri, ke Inggris, karena itu ada uang Poundsterling. Salah satunya untuk kegiatan lawatan ke Inggris, ke Brazil, dan yang terakhir ke Malaysia,” ujar Asep di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Rabu (5/11/2025).

Menurut Asep, dari jumlah tersebut, Abdul Wahid baru menerima sekitar Rp4,05 miliar. Uang itu dikumpulkan oleh tenaga ahli Gubernur, Dani M Nursalam, dan sebagian digunakan untuk keperluan pribadi sang gubernur.

“Sejak awal yang bersangkutan sudah meminta. Untuk kegiatannya macam-macam, termasuk untuk kepentingan pribadi,” kata Asep.

Tiga Tersangka Ditetapkan

KPK resmi menetapkan tiga orang tersangka dalam kasus dugaan pemerasan ini, yaitu Gubernur Riau Abdul Wahid, Kepala Dinas PUPR-PKPP Provinsi Riau M Arief Setiawan, dan Tenaga Ahli Gubernur Dani M Nursalam.

Abdul Wahid disangkakan melanggar Pasal 12e dan/atau Pasal 12f dan/atau Pasal 12B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Penangkapan dan Barang Bukti

Sebelumnya, KPK menangkap Abdul Wahid dalam operasi tangkap tangan (OTT) di Riau, Senin (3/11/2025). Sebanyak 10 orang diamankan dan dibawa ke Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, pada Selasa (4/11/2025) untuk diperiksa intensif.

Dalam operasi tersebut, penyidik menyita uang tunai dalam bentuk rupiah, dolar Amerika Serikat, dan Poundsterling dengan total nilai setara Rp1,6 miliar.

“Tim juga mengamankan barang bukti sejumlah uang dalam bentuk rupiah, US$, dan Poundsterling,” ujar Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo.

Gubernur Abdul Wahid ditangkap bersama orang kepercayaannya, Tata Maulana, di salah satu kafe di Riau setelah sempat dicari tim penindakan. Sementara itu, tenaga ahli gubernur Dani M Nursalam sempat melarikan diri sebelum akhirnya menyerahkan diri pada Selasa malam.

Modus dan Istilah ‘Jatah Preman’

KPK menduga uang hasil pemerasan berasal dari proyek-proyek di Dinas PUPR-PKPP Provinsi Riau. Abdul Wahid diduga mematok “jatah” dari setiap tambahan anggaran dengan istilah “jatah preman” atau “7 batang” sebagai kode penyerahan uang.

“Dugaan tindak pidana korupsi ini adalah pemerasan yang berkaitan dengan anggaran di Dinas PUPR. Ada semacam japrem atau jatah preman sekian persen untuk kepala daerah,” ungkap Budi.

KPK menegaskan, uang yang disita dalam OTT kali ini bukan yang pertama diterima Abdul Wahid. Diduga, sudah ada beberapa kali penyerahan sebelumnya sebelum operasi tangkap tangan dilakukan.

“Uang Rp1,6 miliar itu diduga bagian dari penyerahan kepada kepala daerah. Artinya, kegiatan tangkap tangan ini adalah bagian dari beberapa penyerahan sebelumnya,” jelas Budi.

Kasus ini menambah daftar panjang kepala daerah yang terjerat operasi tangkap tangan KPK akibat penyalahgunaan kekuasaan dalam pengelolaan anggaran daerah.***


Komentar Via Facebook :

Berita Terkait