Tragedi Anak Kelas Dua SD di Inhu, Keluarga Besar Butar-Butar Minta Keadilan dan Bukan Simpati

Ketua Keluarga Besar Marga Butar-Butar Provinsi Riau Anggara Butar-Butar, Viator Butar Butar, bersama orangtua korban B Gimson Butar-butar bersama penasihat hukummnya saat menggelar konferensi pers pada Sabtu, 7 Juni 2025 disalah satu hotel di Pekanbaru, Riau.

Pekanbaru, Oketimes.com - Tragedi memilukan menyelimuti keluarga Gimson Butarbutar. Putra mereka, KB (8 tahun), siswa kelas dua SD di Kabupaten Indragiri Hulu (Inhu), meninggal dunia usai diduga menjadi korban perundungan yang berujung pada komplikasi medis serius. Pihak keluarga kini menuntut keadilan dan meminta kasus ini ditangani secara tuntas, tak hanya terhadap pelaku, tapi juga terhadap pihak sekolah yang dinilai lalai.

“Kami tidak ingin kasus ini hilang begitu saja. Anak kami meninggal bukan karena kecelakaan, tapi karena dikeroyok dan diabaikan. Kami minta hukum ditegakkan, tanpa pandang usia pelaku,” ujar Gimson, didampingi Ketua Marga Butar-Butar Provinsi Riau Anggara Butar Butar, Viator Butar-Butar dan Penasihat Hukumnya, saat menggelar konferensi pers disalah satu hotel berbintang di kota Pekanbaru, Sabtu (7/6).

Dari Ejekan Suku-Agama ke Dugaan Kekerasan Fisik

Tragedi bermula dari peristiwa ejek-mengejek yang melibatkan unsur suku dan agama. Menurut Gimson, dari cerita teman korban, insiden itu berujung pada pengeroyokan di belakang sekolah. KB diduga dipukul dan ditendang oleh siswa kelas lima dan enam, lalu tubuhnya ditimpa hingga terjatuh.

“Baru setelah kami desak, anak kami mengaku telah dipukul dan diinjak. Awalnya dia diam, mungkin takut atau trauma,” tutur Gimson.

Laporan sempat disampaikan ke pihak sekolah. Namun, penanganan dianggap setengah hati. “Sekolah hanya menasihati pelaku, tanpa memanggil orangtua mereka. Kami sendiri yang harus mendatangi rumah mereka,” katanya.

Ironisnya, saat keluarga pelaku dan korban bertemu, solusi yang ditawarkan bukan pengobatan medis, melainkan membawa KB ke tukang urut.

Gejala Muncul, Tapi Terabaikan

KB sempat mengeluh sakit di bagian bawah pusar dan demam usai insiden. Ia pulang lebih cepat dari sekolah dengan alasan ada rapat. Namun, perilaku aneh mulai terlihat: ia tak mau bermain dengan adiknya, tidak menyentuh sepedanya, dan tampak lemas.

Selama beberapa hari, keluarga belum membawa KB ke dokter. “Kami ikuti saran mereka, bawa ke tukang urut. Tapi kondisinya malah memburuk,” kata Gimson.

Setelah hampir seminggu, KB akhirnya dibawa ke klinik. Di sana ia muntah cairan bercampur darah dan kejang-kejang. Malam itu juga, ia dirujuk ke RSUD Indrasari Rengat. Namun nyawanya tak tertolong. KB dinyatakan meninggal dunia saat masih dalam penanganan.

Hasil Autopsi dan Dugaan Penyebab Kematian

Hasil autopsi yang dilakukan 26 Mei 2025 mengungkap bahwa KB meninggal akibat infeksi sistemik menyeluruh di rongga perut, akibat pecahnya usus buntu (appendix). Namun, temuan lain juga mengejutkan: terdapat memar-memar pada perut, paha, serta resapan darah pada jaringan lemak bagian kiri perut. Luka-luka tersebut disebut akibat kekerasan benda tumpul.

“Kami menemukan perforasi pada usus, dan sejumlah luka akibat benturan,” jelas AKBP Supriyono, dokter forensik dari RS Bhayangkara Polda Riau.

Namun, polisi belum dapat memastikan hubungan langsung antara kekerasan yang dialami KB dengan pecahnya usus buntu tersebut. “Sampai sekarang, kami masih menyelidiki apakah kekerasan terjadi sebelum atau setelah usus buntu pecah,” kata Dirreskrimum Polda Riau, Kombes Asep Darmawan.

Hingga kini, polisi telah memeriksa 22 saksi, termasuk lima siswa terduga pelaku yang masih di bawah umur, serta dua tukang urut yang sempat menangani korban.

Harapan Keluarga: Keadilan, Bukan Simpati

Gimson menegaskan, keluarganya tidak mencari belas kasihan. Yang mereka tuntut hanyalah keadilan. Istrinya kini mulai jatuh sakit karena stres, dan anak bungsu mereka merasa kehilangan keceriaan sejak kakaknya meninggal.

“Kami minta keadilan ditegakkan. Jangan karena pelaku masih anak-anak, lalu bisa berlindung begitu saja,” ujar Gimson sambil menahan emosi.

Ia juga berharap perhatian dari Presiden dan aparat hukum. “Pak Prabowo, kami minta tolong. Kami rakyat kecil. Tolong beri kami hukum yang adil.”

Kasus ini menunjukkan lemahnya sistem deteksi dini terhadap kekerasan di lingkungan sekolah dasar, serta perlunya pendekatan medis yang cepat dan tepat pada setiap gejala pasca-trauma fisik anak. Kematian KB menjadi pengingat keras akan harga yang harus dibayar saat pengabaian bertemu kekerasan.***


Komentar Via Facebook :

Berita Terkait