Pertemuan Batal, Perseteruan Kim-Trump Kian Berlanjut

ILustrasi

Oketimes.com - Surat pembatalan pertemuan yang dilayangkan Presiden Donald Trump kepada Kim Jong-un dianggap berpotensi membelokkan haluan Amerika Serikat dan Korea Utara dari jalan perdamaian, ke jalur cepat menuju konflik.

"Keputusan untuk membatalkan pertemuan yang sudah direncanakan dan sikap ini berpotensi membawa kita kembali ke jalur langsung menuju konflik," ujar Ned Price, mantan anggota CIA yang menjabat sebagai juru bicara Dewan Keamanan Nasional (NSA) pada masa pemerintahan Barack Obama.

Kedua belah pihak memang masih membuka pintu untuk upaya damai, meski pertemuan yang rencananya dihelat di Singapura pada 12 Juni mendatang itu batal.

Namun, Price mengatakan bahwa gerbang menuju konflik juga terbuka, apalagi jika mengingat sikap tak menentu Kim dan Trump selama ini.

Dalam surat pembatalan pada Kamis (24/5/18) itu saja misalnya, Trump mengatakan tetap berharap pertemuan itu dapat terjadi suatu hari nanti, tapi ia juga menekankan bahwa AS memiliki tombol nuklir yang lebih besar dari Kim.

Trump melansir pernyataan tersebut, setelah serangkaian perang pernyataan antara Korut dan AS, terutama usai Pyongyang mengancam membatalkan pertemuan pada pekan lalu.

Puncaknya, Korut menyatakan tak ragu memulai pamer nuklir dengan AS, setelah Wakil Presiden Mike Pence mengatakan bahwa Pyongyang sebaiknya berjanji melakukan denuklirisasi jika tidak mau berakhir seperti Libya.

Meski demikian, seorang ahli urusan Asia dari lembaga think tank Heritage Foundation, Bruce Klingner, menganggap masih terlalu dini untuk memprediksi yang akan terjadi.

"Terlalu dini untuk menabuh genderang perang. Kita mungkin sampai ke sana, tapi saya pikir masih prematur untuk menarik kesimpulan sekarang ini," ucap Klingner kepada Reuters.

Menanggapi kisruh ini, sejumlah pakar lainnya menganggap nasib perdamaian ini sebenarnya berada di tangan Kim.

Kebanyakan pengamat masih menyimpan keraguan akan kemauan Kim untuk benar-benar menghentikan program senjata nuklirnya. Sementara itu, Trump dianggap terlalu polos untuk percaya Kim akan melakukan denuklirisasi.

Para analis kemudian menyoroti tanggapan Korut atas surat pembatalan Trump. Korut menyatakan siap berdiskusi dengan AS "kapan pun dan bagaimana pun." Namun, mereka tak mengindikasikan keinginan untuk menghentikan program nuklir.

Jika Kim memutuskan untuk menanggapi pembatalan ini dengan agresif, ia bisa saja menguji coba salah satu rudal jarak menengahnya, hal yang selama ini mereka tahan demi perundingan.

"Indikasi awal dari penurunan hubungan ini adalah pernyataan Korut bahwa mereka tak lagi mengindahkan moratorium uji cobanya," tutur mantan penasihat Presiden George W. Bush, Victor Cha.

Tak hanya ancaman nuklir atau rudal, Korut dianggap masih memiliki kekuatan besar untuk melakukan serangan di jagat maya.

"Kami memperkirakan akan ada semacam balas dendam siber, kemungkinan serangan yang mengganggu jaringan dalam kementerian atau militer AS, kontraktor pertahanan, dan perusahaan multinasional lainnya," kata Priscilla Moriuchi, mantan kepala kantor urusan ancaman siber Asia NSA.

Namun, mantan penasihat urusan Asia untuk Obama, Jeff Bader, menganggap Kim akan menghindari provokasi semacam itu karena masih mengharapkan perbaikan hubungan dengan Korea Selatan, sekutu AS di kawasan.

"Itu akan membuat mereka menahan sebentar. Untuk jangka panjang, tentu, mereka akan kembali melakukan provokasi. Saya tidak meragukan itu," kata Bader, demikian dilansir dari laman cnnindonesia.com.***


Tags :berita
Komentar Via Facebook :

Berita Terkait