Dinilai Pro Terhadap Lahan Ilegal Korporasi dan Cukong Sawit

Jikalahari Deteksi Penumpang Gelap di Holding Zone Ranperda RTRW Riau 2017-2037

Peta dan foto hasil penelusuran Jikalahari bersama Eyes On The Forest milik korporasi dan cukong lahan sawit hasil draf Pansus Ranperda RTRW Riau 2017-2037.

Pekanbaru, Oketimes.com - Pengesahan Ranperda RTRW 2017-2037 yang dilakukan Pansus DPRD Riau, ternyata masih menyimpan sejumlah pokok permasalahan dibalik agenda tersebut.

Mengapa tidak, untuk membongkar rencana jahat tersebut, aktivis Jikalahari melakukan peninjauan kebeberapa lokasi lahan yang akan diloloskan sebagai acuan pengesahan Ranperda RTRW Riau 2017-2037 yang nemukan seluas 29.102 hektar milik 5 korporasi sawit dan 2 cukong sawit yang masuk dalam holding zone hasil kerja Pansus RTRWP Riau 2017-2037.

Ketujuh lahan korporasi sawit dan cukong yang berada di dalam kawasan hutan yang hendak dilegalkan oleh Pansus RTRWP Riau, itu antara lain.

1.  PT Torganda seluas 9.979 ha di Kabupaten Rokan Hulu (Rohul)
2. PT Padasa Enam Utama seluas 1.926 ha di Kampar
3. PT Agro Mandiri/Koperasi Sentral Tani Makmur Mandiri seluas 485 ha di Kampar
4. PT Andika Pratama Sawit Lestari seluas 10.098 ha di Rohul
5. PT Citra Riau Sarana seluas 4.000 ha di Kuansing
6. Koko Amin seluas 614 ha di Rohil
7. Ationg dan Asiong seluas 2.000 ha di Kuansing

"Ini bukti dari lapangan, kami menilai Pansus RTRWP Riau tidak membuka dokumen draft RTRWP dan tidak melibatkan publik selama penyusunan RTRWP Riau, karena ada kepentingan korporasi sawit dan cukong illegal yang diakomodir," kata Made Ali, Wakil Koordinator Jikalahari dalam siaran persnya yang diterima oketimes.com Rabu (18/10/2017).

Mengapa Pansus RTRWP Riau mengakomodir kepentingan korporasi dan cukong?, lanjut Made Ali seraya menceritakan bahwa September 2017 lalu, Gubernur Riau menyerahkan Ranperda RTRWP Riau 2017-2037 hasil paripurna DPRD Riau kepada Menteri Dalam Negeri.

Dalam Ranperda RTRWP Riau seluas 405.874 hektar dari 1.045.390 hektar, diusulkan menjadi non kawasan hutan (usulan Holding Zone), sisanya sekitar 640.257 hektar tidak disetujui DPRD Riau, lantaran disinyalir merupakan areal perusahaan besar yang dikuasai tanpa izin.

Lantas kata Made Ali, DPRD Riau menyerahkan kepada aparat penegak hukum untuk memprosesnya. Sementara sisa lahan seluas 405.874 hektar itu diusulkan diubah menjadi non kawasan hutan. Namun, karena
proses pelepasan kawasan hutan butuh waktu lama, DPRD Riau memasukkannya ke dalam Holding Zone.

Di dalam draft RTRWP Riau, DPRD Riau memasukan pasal tentang Holding Zone dengan rincian sebagai berikut; 1 Pemukiman 19.317 ha, 2 Infrastruktur, Fasos dan Fasum 7.078 ha, 3 Kawasan Industri 399 ha, 4 Perkebunan Rakyat 321.717 ha, 5 Hutan Lindung 1.798 ha, 6 Kawasan Perikanan 183 ha, 7 Kawasan Pertanian 55.355 ha.

Menurut Made Ali, dari hasil penelusaran dan investigasi Jikalahari sejak awal Oktober 2017 lalu di lokasi tersebut, bahwa holding zone seluas 405.847 yang masuk dalam Ranperda RTRWP Riau 2017-2037.

"Tim masih terus mengidentifikasi areal di holding zone untuk di "putihkan" menjadi non kawasan hutan. Ini temuan pertama, temuan berikutnya akan kami sampaikan ke publik," pungkas Made Ali.

Dijelaskannya, Ke lima korporasi dan dua cukong sawit itu, selama ini beroperasi tanpa izin dari Menteri
Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Itu berarti mereka melakukan tindak pidana kehutanan. Sampai detik ini mereka tidak memiliki izin pelepasan kawasan hutan dari Menteri LHK.

"Dengan memasukkan korporasi dan cukong itu ke dalam holding zone, sama saja DPRD Riau melegalkan tindakan kejahatanan mereka," ulas Made Ali menyimpulkan hasil ivestigasinya tersebut.

Lanjut Made Ali, selain temuan lahan yang dikelola korporasi dan cukong di area holding zone, temuan penting lainnya adalah menurunnya secara signifikan luasan Kawasan Lindung Gambut yang hanya menjadi 21.615 ha.

Menurutnya, pengurangan luasan gambut tersebut, berdampak pada terkendalanya kegiatan restorasi gambut BRG di Riau. Luasan gambut bekas terbakar di areal korporasi yang seharusnya menjadi fungsi lindung gambut, akan ditetapkan menjadi fungsi budidaya.

Investiagsi tim Jikalahari bersama Eyes On The Forest itu, selain melakukan investigasi ke lapangan, mereka juga mengirim surat ke Mendagri, KLHK dan Badan Restorasi Gambut untuk menolak Ranperda RTRWP Riau 2017-2037.

Karena sambung Made, Pengesahan Ranperda RTRW Riau tersebut dinilai bertentangan dengan kebijakan dan produk hukum Presiden Jokowi. Apalagi proses penyusunan draf ranperda itu tidak pernah melibatkan masyarakat dan mengesampingkan terhadap komunitas yang selama ini berjuang menyelamatkan hutan dan tanah.

Tekait hal tersebut, secara tegas Jikalahari merekomendasikan kepada, Mendagri agar menolak Ranperda RTRWP Riau 2017 – 2037 dan memerintahkan Gubernur Riau membahas ulang proses penyusunan, pembahasan, pengesahan dan penetapan RTRWP Riau dengan melibatkan publik.

Kedua, Menteri Lingkungan hidup dan Kehutanan secara substansial tidak menyetujui holding zone seluas 405.874 ha karena bertentangan dengan PP 104/2015 Tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan.

Ketiga, MenLHK memerintahkan Gubernur Riau mengusulkan perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan seperti semula.

"Ke lima, korporasi dan dua cukong sawit itu, selama ini beroperasi tanpa izin dari Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Itu berarti mereka melakukan tindak pidana kehutanan. Sampai detik ini mereka tidak memiliki izin pelepasan kawasan hutan dari Menteri LHK," pungkas Made Ali seraya mengingatkan jika pansus memasukkan korporasi dan cukong itu ke dalam holding zone, sama saja DPRD Riau melegalkan tindakan kejahatanan mereka.

Lebih jauh terang Made Ali, elain temuan lahan yang dikelola korporasi dan cukong di area holding zone, temuan penting lainnya. Menurunnya secara signifikan luasan Kawasan Lindung Gambut yang hanya menjadi 21.615 ha.

Pengurangan luasan gambut tersebut berdampak pada terkendalanya kegiatan restorasi gambut BRG di Riau. Luasan gambut bekas terbakar di areal korporasi yang seharusnya menjadi fungsi lindung gambut, akan ditetapkan menjadi fungsi budidaya. (ars)


Tags :berita
Komentar Via Facebook :

Berita Terkait