Dinilai Ada Penumpang Gelap & Pro Korporasi

Aktivis Desak DPRD Stop Paripurna RTWP Riau 2016-2035

Ilustrasi

Pekanbaru, oketimes.com - Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari) mendesak DPRD Propinsi Riau menghentikan pembahasan Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) Rencana Tata Ruang Wilayah Povinsi (RTRWP) Riau 2016-2035, jelang paripurna DPRD Riau pada 7 Agustus 2017.

Pasalnya, para aktivis mencium adanya gelagat dari Panitia Khusus (Pansus) untuk mengagendakan pengesahan Ranperda tersebut. Jika draft itu disahkan, menurut Jikalahari, sejumlah masalah baru bakal muncul dan tidak pro rakyat.

"Draft RTRWP 2016 - 2035 banyak tidak mengakomodir perubahan kebijakan dan produk-produk hukum terbaru seperti Perhutanan Sosial, Tanah Objek Reformasi Agraria (TORA) dan Hutan Adat," ujar Woro Supartinah, Koordinator Jikalahari dalam jumpa persnya, di Pekanbaru, Jumat (04/08/17) siang.

Selain itu, beberapa izin perusahaan industri kehutanan yang akan dicabut dalam ekosistem gambut. Akibatnya ruang kelola masyarakat dan ruang ekologis tidak mendapat tempat, justru draft ini melegalkan dominasi monopoli korporasi HTI, sawit, tambang dan cukong di Riau.

Woro Suparatinah juga menyebutkan bahwa pihaknya mencatat, sedikitnya ada 10 persoalan akan muncul, jika RTRWP Riau 2016-2035 disahkan saat ini.

Pertama, akan marak laporan pidana kepada Masyarakat Adat dan Tempatan. Bila DPRD Provinsi Riau hari ini menetapkan Ranperda RTRWP Riau 2016-2035 menjadi Perda, masyarakat hukum adat dan masyarakat tempatan yang bergantung pada hutan dapat dengan mudah dikriminalisasi oleh korporasi Hutan Tanaman Industri (HTI) pulp and paper seperti APP dan APRIL dengan UU kehutanan dan UU Tata Ruang.

Kedua, draft tersebut tidak transparan dan tidak melibatkan Publik. Dimana, proses pembahasan RTRWP Riau hampir tidak pernah melibatkan masyarakat terdampak. Selain itu, dalam pembahasan Draft RTRWP tidak transparan, sehingga hanya menguntungkan segelintir elit, birokrasi dan korporasi.

Menurut para aktivis lingkungan ini, munculnya kasus korupsi Annas Maamun, Gulat Manurung dan Edison Marudut, membuktikan proses pembahasan RTRWP Riau tak transparan karena perilaku korupsi. Padahal, UU penataan ruang seharusnya memberi ruang pada masyarakat dalam penataan ruang yang dilakukan pada tahap: perencanaan tata ruang, pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang.

Ketiga, draft tersebut tak mengakomodir Perhutanan Sosial (PS), Tanah Objek Reformasi Agraria (TORA) dan Hutan Adat. Seharusnya, draft RTRWP Riau mengakomodir kebijakan yang bertujuan pemerataan ekonomi untuk mengurangi ketimpangan penguasaan lahan.

Padahal, pemerintah sendiri menggesa adanya reformasi agraria dengan dua skema, yaitu PS atau TORA. Juga mematuhi dan mengakomodir Putusan MK No. 34/PUU-IX/2011 menyebutkan bahwa hutan adat bukan hutan negara. Hutan adat juga masuk dalam skema PS.

Keempat, draft tersebut tidak mengakomodir perubahan Kebijakan Baru Pemerintah Berkaitan Review Perizinan, Perubahan Fungsi Pengelolaan Hutan Serta Penetapan Kawasan Lindung dan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

Kelima, tidak mengakomodir Kawasan Lindung Gambut. Dalam draft RTRWP 2016 â€" 2035 pasal 22 ayat (3) disebutkan, Kawasan Lindung Kubah Gambut (KLG) total seluas 1.693.030 hektar. Padahal berdasarkan SK MenLHK Nomor 129/Setjen/PKL.0/2/2017 Tentang Penetapan Peta Kesatuan Hidrologis Gambut Nasional, khusus untuk Ria, luasan ekosistem gambut mencapai 5.040.735 ha.

Luasan ini, terbagi untuk dua fungsi ekosistem gambut, yakni fungsi lindung sekitar 2.473.383 ha dan sisanya 2.567.352 ha untuk fungsi budidaya.

Artinya Pemda Riau harus memasukkan 2,4 juta hektar kawasan lindung ke dalam draft RTRWP. Jika tidak, maka kegiatan restorasi pada gambut bekas terbakar tidak dapat dilaksanakan oleh Badan Restorasi Gambut (BRG) dan Tim Restorasi Gambut Propinsi Riau.

Keenam, draft tersebut lebih mementingkan korporasi dari pada masyarakat. Dari sekira 9 juta hektar luas kawasan Riau, lebih dari 65 persen telah dikuasai korporasi sektor HTI, sawit dan tambang - belum termasuk korporasi sektor Migas karena belum ditemukan data valid terkait eksisting penggunaan lahan.

Akibat berpihaknya draft RTRWP kepada korporasi, masyarakat adat dan tempatan tidak lagi memiliki tempat untuk hidup dan mengelola lahan. Semestinya, Pemda Riau mereview kembali izin perusahaan yang merampas hutan tanah milik masyarakat adat dan tem patan.

Ketujuh, tidak menjalankan GNPSDA KPK. Seharusnya, Pemda Riau menjalankan 19 Rencana Aksi Pemda yang disetujui bersama KPK sebagai bagian penyelesaian persoalan kehutanan di Riau dengan 6 fokus utama, yaitu ; Penyelesaian Pengukuhan Kawasan Hutan, Penataan Ruang dan Wilayah Administrasi, Penataan perizinan kehutanan dan perkebunan, Perluasan wilayah kelola masyarakat, Penyelesaian konflik kawasan hutan, Penguatan instrumen lingkungan hidup dalam perlindungan hutan dan membangun sistem pengendalian anti korupsi.

Kedelapan, draft tidak disusun berdasarkan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS). KLHS berfungsi menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup dan keselamatan masyarakat.

Setiap perencanaan tata ruang dan wilayah, wajib didasarkan pada KLHS (Pasal 19 UU 32 tahun 2009 tentang PPLH). Namun Riau belum memiliki KLHS dalam menyusun Draft RTRWP.

Kesembilan, tidak mengakomodir temuan Pansus DPRD Bengkalis. Pansus Monitoring dan Identifikasi Sengketa Lahan Kehutanan DPRD Bengkalis merekomendasikan agar MenLHK mencabut atau merevisi SK No 314/MenLHK/2016 tentang Peruntukan Perubahan Kawasan Hutan Riau.

Pasalnya, banyak desa tua serta lahan penghidupan masyarakat berada dalam kawasan konsesi perusahaan antara lain: PT Rimba Rokan Lestari, PT Arara Abadi, PT Sumatera Riang Lestari, PT Bukit Batu Hutani Alam, PT Sekato Pratama Makmur, PT Balai Kayang Mandari, PT Rimba Mandau Lestari, PT Riau Abadi Lestari (HTI), PT Sinar Sawit Sejahtera, PT Sarpindo Graha Sawit Tani, PT Murini Samsam dan PT Murini Wood (Sawit).

"Perkembangan mutakhir ini, menurut Jikalahari belum pernah dibahas oleh Gubernur Riau dan DPRD Riau untuk memasukkan dalam draft RTRWP Riau," ulasnya.

Kesepuluh, melegalkan praktik perkebunan Sawit ilegal dalam Kawasan Hutan. Seperti diketahui, dalam Upaya Memaksimalkan Penerimaan Pajak Serta Penertiban Perizinan dan Wajib Pajak DPRD Provinsi Riau, pada tahun 2015 Pansus Monitoring dan Evaluasi Perizinan HGU, Izin Perkebunan, Kehutanan, Pertambangan, Industri dan Lingkungan menemukan 2,4 juta kawasan hutan di Riau dirambah oleh korporasi, cukong dan masyarakat.

Sebagai bentuk peran partisipasi publik dalam penataan ruang, mulai dari perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang, Jikalahari mendesak menawarkan solusi RTRWP Riau berbasis ruang kelola rakyat, partisipasi dan ruang ekologis:

Pertama, DPRD Riau tidak menyetujui draft RTRWP Riau 2016-2035 versi Gubernur Riau. Lalu DPRD Riau merekomendasikan Gubernur Riau:

a. Membentuk tim khusus Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) dengan melibatkan masyarakat dan pemangku kepentingan.
b. Mengusulkan kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk mereview SK Kawasan Hutan Riau nomor:

- SK.673/Menhut-II/2014
- SK 878 SK 878/Menhut-II/2014
- SK.314/MENLHK/SETJEN/PLA.2/4/2016 jo SK.393/MENLHK/SETJEN/PLA.0/5/2016
- SK No, 903/MENLHK/SETJEN/PLA.2/12/2016

Dengan cara membentuk tim terpadu yang melibatkan akademisi, masyarakat sipil, dan masyarakat terdampak dengan tugas utamanya :

a. Penyelesaian Pengukuhan Kawasan Hutan, Penataan Ruang dan Wilayah Administrasi.

b. Penataan perizinan kehutanan berupa mereview izin korporasi yang beroperasi di atas lahan gambut dan lahan masyarakat hukum adat serta masyar akat tempatan.

c. Perluasan wilayah kelola masyarakat berupa Perhutanan Sosial.

d. Penyelesaian konflik kawasan hutan dengan melibatkan masyarakat adat dan masyarakat tempatan.

Kedua, membentuk tim perbaikan tata kelola lingkungan hidup dan kehutanan untuk menjalankan renaksi GNPSDA KPK sektor kehutanan, perkebunan, minerba dan energi.? ?Untuk memastikan kepentingan ruang kelola rakyat diakomodir dalam RTRWP Riau.

Ketiga, Gubernur Riau melibatkan masyarakat adat dan tempatan serta masyarakat terdampak dalam proses pembahasan dan penyusunan draft RTRWP Riau 2016-2035.

Keempat, Gubernur Riau membangun sistem informasi dan komunikasi penyelenggaraan penataan ruang yang dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat.

Kelima, KPK bersama Menteri LHK, Gubernur Riau dan DPRD Riau membentuk tim khusus yang tugas utamanya mengawasi perencanaan RTRWP Riau dan pembahasan draft RTRWP Riau 2016-2035.

"Oleh karena itu, draft RTRWP 2016-2035 harus ditolak untuk dikoreksi. Lalu dibuat draft RTRWP yang baru dengan melibatkan partisipasi publik sebagai syarat transparansi untuk mewujudkan ruang yang berkeadilan berbasis ekologis dan berpihak pada rakyat," pungkas Woro Supartinah.***


Tags :berita
Komentar Via Facebook :

Berita Terkait